Kadang, komunikasi politik Presiden SBY terlihat begitu normatif, bahwa semua
tindakannya terukur, terarah, terkendali, predictable, dan sesuai dengan
yang ada dalam bayangan kita. Pokoknya, semua berjalan baik-baik saja.
Pada saat yang lain, tindakan presiden yang sering maju–mundur itu mengomunikasikan
bahwa ia sendiri pun tak tahu mengatasi kekuatan politik lain yang
dirangkulnya sendiri sehingga tak bisa membangun gaya kepemimpinan
sesuai dengan karakter personalnya. Kombinasi dua hal yang bertentangan
ini membuat kita sulit memahami komunikasi politik Presiden SBY.
Dari
begitu banyak pakar komunikasi politik yang mengamatinya, kesulitan
memahami itu bukan terletak pada gagalnya ilmu komunikasi dalam
menjelaskan perkembangan praktik komunikasi politik actual. Tetapi lebih
pada ketidakhabispikiran mereka mengapa komunikasi politik Presiden SBY
menjadi lemah ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik yang mengelilinginya.
Saya
melihat bahwa pakar-pakar ini sebenarnya tidak rela jika presiden
sebagai komunikator politik utama negeri ini tidak dominan di tengah
begitu besar potensi komunikasi yang ia miliki.Di manapun di dunia ini,
yang namanya komunikator politik adalah mereka yang berhasil
mengondisikan publik segala level dengan komunikasinya.
Sebaliknya,
keberhasilan komunikator politik pada level-level bawah saja seringkali
dianggap sebagai nasib baik atau malah telah mengambil keuntungan
politis dari terbatasnya pengetahuan level bawah yang mayoritas itu.
Ketika
para pengamat atau politisi melihat seorang elit politik sukses lebih
karena retorika atau persuasinya pada level bawah, maka mereka melihat
titik lemah demokrasi--yang selalu memrioritaskan suara mayoritas
sebagai suara kebenaran--telah dimanfaatkan oleh elite untuk raihan
politis atas keterbatasan pengetahuan level bawah. Beberapa waktu
lamanya, mereka yang peduli akan mendorong presiden agar beraksi nyata
dalam mengurusi rakyat yang telah memberi mandat besar itu.
Akan tetapi, sering sekali ada kekecewaan terhadap Presiden SBY yang dinilai
tidak bertindak nyata di tengah mandat besar di tagannya. Akibatnya,
langkah-langkah Presiden semakin sulit dipahami karena para pengamat
atau politisi tadi berusaha mendorong presiden dengan cara mengritiknya.
Lalu,
seringkali reaksi presiden atas kritik sulit diambil simpulan
definitifnya. Ketika ini terjadi antara presiden dengan kritikusnya,
maka orientasi pembahasan juga seringkali bergeser ke persoalan makna
kata. Lalu, berhenti di sana karena lelah atau ada kasus lain yang
sebagian besar juga akan berakhir sama.
Pusatnya Presiden
Secara
sistim komunikasi, Presiden hanya satu dan menjadi pusat utama sistim
komunikasi politik itu. Itulah sebabnya mengapa para juru bicara sering
dianggap sebagai sumber informasi skunder tentang berbagai hal. Dalam
situasi ini, para komunikator politik yang menjadi kritikusnya jelas
lebih banyak secara kuantitas, sekaligus juga lebih sulit dipahami
karena terlalu banyak. Ketika
ini terjadi, orang langsung mengarahkan diri menjadi komunikan presiden
saja. Di sinilah presiden seharusnya berkomunikasi secara jelas dan
definitif maksudnya agar semua unit komunikasi menjadi sinkron
dengannya.
Sayangnya,
Presiden SBY kerap terlihat tidak menggunakan potensinya sebagai pusat
komunikasi ini untuk menimbulkan kesamaan pemahaman tentang objek yang
dibahasnya. Malah, dalam masalah reshuffle atau nasib koalisi belakangan
ini, ia membuat orang-orang di sekitarnya menjadi terlihat tidak
sejalan komunikasinya dengan presiden.
Akibatnya,
orang melupakan kebingungan kepada orang-orang di sekitar presiden dan
para kritikusnya dan kembali berharap presiden sebagai pusat komunikasi
dan klarifikasi. Lalu, kembali kebingungan sehingga melupakan masalah
secara temporal dianggap sebagai solusinya.
Sebenarnya,
di sinilah Presiden SBY harus belajar kepada pendahulunya, yaitu mantan
Presiden Abdurrahman Wahid yang sering menimbulkan kebingungan juga
akibat pernyataannya yang sering kontroversial itu. Di sini, ada
karakteristik bahasa tubuh yang sangat berbeda antara keduanya. Bukan
maksud saya membandingkan karena keduanya tetap menimbulkan kebingungan
bagi saya pribadi, tetapi sebaiknya ada kesesuaian antara bahasa tubuh
yang serius dengan bahasa kata-kata yang juga harus memberi klarifikasi
yang efektif dan efisien.
Kalau
kita ingat Presiden Abdurrahman Wahid lengser karena salah satunya
adalah ia selalu menimbulkan kontroversi dengan kata-katanya, maka di
sinilah Presiden SBY harus mengerti betapa pentingnya keselarasan antara
bahasa tubuh, bahasa kata-kata, dan tindakan itu.
Bayangkan,
dengan bahasa tubuh yang serius dan bahasa kata-kata yang sedemikian
baiknya, meskipun maknanya selalu multitafsir dan aksi nyata
yang terkadang tidak hadir, menjadi modal utama untuk ia menarik
simpati rakyat. Jadi, alangkah bijkasananya jika potensi komunikasi yang
dimilikinya itu plus ahli-ahli di sekitarnya itu digunakan untuk
membuat rakyat tahu secara jelas dan bertindak sesuai dengan apa yang
dikomunikasikan oleh presiden.
Sebenarnya,
semua karakteristik dan gaya komunikasi yang dimiliki para pemimpin
adalah istimewa. Soekarno dengan gaya yang meledak dan orasi yang
membakar, Soeharto yang sederhana dan kerap membunyikan vokal a menjadi e
lemah, Habibie dengan gaya teknokratnya, Gus Dur yang selalu humoris
seenaknya, Megawati dengan keperempuanannya, sampai SBY hari ini yang
santun dan bakunya, semua itu adalah dibutuhkan sesuai zamannya.
Sekaligus,
ini menunjukkan bahwa semua presiden punya kelemahan komunikasi yang
sama nilainya, hanya bentuknya saja yang berbeda-beda. Tapi sebagai
Presiden Indonesia di abad 21 dan yang pertama yang dipilih secara
langsung, alangkah elegan-nya kalau SBY mengartikulasikan keistimewaan
pendahulunya itu dalam gaya komunikasi kata dan tindakan sambil
meminimalisasi semua kelemahan pendahulunya.
Pemilihan
secara langsung ini juga menimbulkan tuntutan baru di masyarakat atas
presidennya, yaitu komunikasi yang lebih langsung, baik prosesnya maupun
maknanya. Itulah sebabnya mengapa Presiden SBY sering dituntut untuk
lebih baik lagi dalam komunikasinya kepada rakyat. Sebaliknya, akan
sangat terasa kekecewaan rakyat jika komunikasi Presiden SBY sering
tidak jelas atau berbeda dengan kenyataan.
Agar dipahami
Agar
komunikasi politik presiden, siapapun presidennya, mudah dipahami,
maka semua kita tahu metodenya, yaitu sesuaikan antara kata dengan
tindakan. Orang cenderung tidak terlalu kecewa jika Presiden SBY
mengambil kata dan tindakan yang berbeda dengan keinginan orang tersebut
karena bagaimanapun begitulah hidup ini, selalu berbeda. Kekecewaan
yang mendalam adalah jika berkali-kali presiden hanya sesuai dengan
rakyat secara kata-kata saja.
Dan
dalam seni komunikasi politik, justru karena adanya perbedaan inilah
para pemimpin itu bisa membuat kagum, bahwa dalam hal yang memang
diperlukan dan batas-batas tertentu, ia adalah orang yang berkarakter
kuat.
Saya
masih sangat ingat iklan pertama SBY sebelum melangkah mencalonkan diri
menjadi presiden pada 2004. Dalam iklan tersebut, salah satu kalimatnya
adalah, “Mari kita dengar suara rakyat”. Pada saat itu, kalimat bernada
demokratis itu didukung oleh karakter fisik yang kuat sehingga menjadi
begitu berbeda di mata kita. Pada pidato-pidato pertamanya setelah ia
menjadi presiden, kalimat, “Mari... menuju lebih baik” masih sering
digunakan. Setelah itu, orang kemudian menanti bagaimana teknik
operasional konkret untuk menjadi lebih baik itu. Ketika keadaan tidak
banyak berobah, orang kemudian mempertanyakan kalimat-kalimat seperti
itu sebagai sulit dipahami.
Kini,
sisa masa pemerintahan Presiden SBY tinggal 3 tahun lebih sedikit.
Tentu ia masih melaksanakan tugasnya salahsatunya bersifat
komunikasional. Maka, waktu tiga tahun itu masih cukup panjang untuk dia
bisa dipahami secara komunikasi.
Selain
itu, bangsa Indonesia juga harus belajar bahwa komunikatif dalam
pemerintahan dan kenegaraan sangatlah perlu. Karena tidak komunikatiflah
maka kita merasakan banyak pihak yang saling mengancam belakangan ini,
mulai dari ancaman kecil dan halus sampai terang-terangan.
Mengapa
terjadi saling ancam ? Karena mereka menganggap komunikasi yang normal
tidak banyak memberi hasil di tengah mereka belum mau melakukannya
secara normal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar