BELUM lagi sehari berlalu ketika banyak orang
takjub, bangga, dan sebuncah perasaan optimistis menyimak kabar Wali
Kota Solo Joko Widodo dan Wakil Wali Kota Hadi Rudyatmo menjadikan mobil
Esemka sebagai mobil dinas, sudah muncul kontroversi seputar keputusan
tersebut. Adalah Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo yang menyatakan
langkah itu merupakan tindakan sembrono. Tanpa tedheng aling-aling khas
Bibit, dia mengatakan, keputusan pejabat tidak perlu didasari cari muka.
“Bangga itu boleh. Bangga bahwa anak-anak kita bisa berkarya luar
biasa. Tapi kebanggaan itu yang terukur dong. Lha ini belum apa-apa,
teruji saja belum kok sudah ada yang berani pasang pelat nomor (untuk
kendaraan dinas ). Sembrono itu namanya. Kalau nanti sampai nabrak kebo
gimana. Tidak usah cari muka lah,” sergah Bibit saat ditanya wartawan
menanggapi penggunaan mobil Esemka itu.
Mobil Esemka adalah hasil rakitan siswa-siswa SMKN 2 dan SMK Warga
Surakarta, yang 80 persen komponennya dibuat di Batur, Klaten. Dua mobil
bertipe Super Utility Vehicle (SUV) warna hitam metalik itu diciptakan
para siswa dengan dukungan Kiat Motor dan Autocar Industri Komponen.
Setelah media massa memberitakan bahwa mobil rakitan siswa itu
sebagai mobil dinas wali kota Solo, tiba-tiba saja Esemka bukan lagi
sebagai mobil sebagai alat mobilitas. Ucapan Bibit Waluyo jelas
menyiratkan bahwa oleh Jokowi, mobil itu telah dimanfaatkan sebagai
bahan komunikasi politik dengan harapan muncul pencitraan tentang sosok
Jokowi yang apresiatif dan mendukung karya anak bangsa.
Ada kerangka teori yang bisa menjelaskan hal itu, yakni teori
komunikasi politik empati. Menurut teori ini, komunikasi politik diukur
dari keberhasilan komunikator (subjek komunikasi) memproyeksikan diri
dalam sudut pandang orang lain. Komunikasi politik berhasil apabila
dapat menanamkan citra diri si komunikator dalam suasana alam pikiran
masyarakat, atau secara ringkas, membangun empati masyarakat.
Jika Bibit seorang teoretikus, mungkin dia akan mengatakan kalau
keputusan menggunakan Esemka sebagai mobil dinas lebih pas dipandang
sebagai bagian dari komunikasi politik simbolik dan bukan sebagai
keputusan kebijakan publik. Dalam komunikasi politik itu, elemen-elemen
simbolik lebih kuat dibandingkan elemen-elemen rasional.
Pertimbangan-pertimbangan rasional-teknis seperti misalnya aspek uji
kelayakan, sertifikasi produk berada di belakang
pertimbangan-pertimbangan pesan simbolik seperti apresiasi terhadap
kreativitas, nasionalisme, kebanggaan pada karya anak bangsa, dan
semacamnya.
Apakah Jokowi dan Hadi Rudyatmo keliru dalam keputusannya? Apakah
Bibit Waluyo keliru dalam penilaiannya? Persoalan sebetulnya terletak
pada komunikasi politik kedua belah pihak. Kasus “mobil Esemka” menjadi
pelajaran yang menarik tentang betapa rumit dan kompleksnya
praktik-praktik komunikasi, khususnya dalam hal ini adalah komunikasi
politik antara pejabat publik dengan rakyat. Masyarakat tentu tidak
dapat disalahkan ketika membingkai pernyataan Bibit dengan fakta
“sejarah perseteruan” antara Jokowi dan Bibit beberapa bulan lalu.
Karena itu, sekali lagi bingkai komunikasi politik sebetulnya bisa
menjernihkan pandangan, melengkapi yang tidak utuh, dan mengoreksi cara
komunikasi yang tidak tepat.
Komunikasi adalah berkah sekaligus kutukan. Seperti disimbolkan dalam
kisah Menara Babel, umat manusia terpecah-belah ketika berkomunikasi
tetapi tidak saling memahami karena masing-masing menggunakan bahasa
yang berbeda.
Kemampuan bahasa dan reproduksi saluran-saluran komunikasi adalah
lompatan peradaban manusia, mendekatkan jarak sehingga muncul istilah
global village tetapi juga memisahkan satu sama lain dalam jurang
persepsi. Begitu banyak persoalan, mulai dari hubungan antara dua
manusia, pada tingkat keluarga, kelompok kecil, masyarakat, hingga
korporasi dan negara-bangsa, muncul akibat problem komunikasi.
Dalam kehidupan politik, hubungan antara elite dan publik,
persoalan-persoalan komunikasi menjadi salah satu kajian yang tergolong
esoteris dalam khazanah ilmu-ilmu sosial. Pada konteks Indonesia, kita
mengalami bauran kompleksitas komunikasi politik akibat komunikasi gaya
Amerika yang menekankan pada aspek pencitraan, sehingga sering pula
disebut politik pencitraan. Penulis menyebutnya sebagai “gaya Amerika”
karena modus komunikasi politik pencitraan secara sistematis melalui
pemanfaatan media massa pertama kali dipraktikkan oleh Lyndon B Johnson
saat bertarung dalam pemilu Amerika Serikat.
Pada 7 September 1964, tim kampanye Johnson menayangkan iklan politik
yang terkenal dengan julukan “Daisy ad”. Iklan itu mengisahkan seorang
gadis kecil memetik kuntum bunga daisy seraya menghitung sampai bilangan
sepuluh. Kemudian, suara berat terdengar menghitung mundur dari sepuluh
ke nol disusul dengan tayangan visual ledakan bom nuklir.
Pesan yang hendak disampaikan dalam iklan politik itu adalah bahwa
calon incumbent Barry Goldwater bakal membawa AS dalam kancah perang
nuklir apabila terpilih. Meski iklan tersebut hanya ditayangkan satu
kali, persoalan bom nuklir menjadi isu sepanjang kampanye. Johnson
memenangi pemilu dengan perolehan 61 persen suara, rekor dalam sejarah
pemilu Amerika.
Sejak itulah, modus komunikasi politik Johnson ditiru, dikembangkan,
dan diadopsi bukan saja oleh para politikus Amerika, tetapi juga di luar
Amerika. Tony Blair adalah politikus yang menerapkan komunikasi politik
gaya Amerika itu secara total dengan hasil kemenangan telak dan membawa
kebangkitan kembali Partai Buruh atas Partai Konservatif di Inggris.
Selanjutnya, komunikasi politik yang lebih populer diistilahkan
political marketing itu menjadi modus utama komunikator politik di
seantero dunia, termasuk Indonesia setelah Soeharto tumbang.
Dalam istilah Stendhal, modus komunikasi semacam itu seperti halnya
menembakkan pistol ke udara di tengah keramaian. Letusan tersebut tentu
membuat massa mengarahkan perhatian ke arah suara itu. Meraih perhatian
publik adalah sasaran utama political marketing. Fokus inilah yang
kemudian menggeser aspek esensi dalam komunikasi sehingga muncuk praktik
“sensasi lebih penting daripada substansi”. Komunikasi politik lantas
terjebak dalam sensasionalisme dengan berlomba-lomba mengejar perhatian
publik, dengan semaksimal mungkin memanfaatkan media massa, meskipun
harus mengabaikan substansi pesan.
Dampak berikutnya, media massa pun terjebak dalam sensionalisme
karena unsur kemenarikan dalam political marketing adalah dahaga bagi
media massa. Tabloidisasi media massa tidak terhindarkan, sehingga
politik, media massa, dan publik terangkai dalam satu lingkaran yang
saling memanfaatkan. Pakar linguistik Noam Chomsky menandaskan
keprihatinan pada situasi ini dengan menyebut media massa melakukan
praktik manufacturing consent, alias kesepahaman publik sebagai
tindakan-tindakan manipulatif melalui mekanisme pembentukan opini
publik.
Keprihatinan akan sensasionalisme dalam komunikasi politik itu lantas
mendorong munculnya teori tentang komunikasi politik yang rasional.
Masyarakat perlu dikembalikan pada area komunikasi politik yang rasional
karena pada domain itulah demokrasi yang sejati bisa diharapkan. Salah
satu pengusung rasionalitas komunikasi politik, Jurgen Habermas,
mengembangkan Teori Kritis yang menitikberatkan pada aspek pengetahuan,
kepentingan, rasionalitas, dan kebebasan sebagai elemen-elemen untuk
membangun komunikasi yang rasional dan pada gilirannya juga
partisipatif. Bagi Habermas tindakan komunikatif bersandar pada proses
kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan bersamaan dengan
sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan
pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai
kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi
bersama.
Komunikasi politik yang rasional dan partisipatif akan menghindarkan
kita dari keterjebakan pada komodifikasi politik, dan politisasi hal-hal
yang sebetulnya tidak esensial dan tidak substansial bagi pematangan
dan kebenaran politik.
Kembali pada kasus mobil Esemka, kita meyakini apabila pesan yang
hendak disampaikan kepada anak-anak muda penerus bangsa adalah pesan
semangat, apresiasi atas kerja keras dan kreativitas dengan tindakan
nyata berupa mengakui dan menggunakan mobil itu sebagai mobil dinas. Ini
tentu langkah yang bagus dari elite politik, sekali lagi dalam konteks
apresiasi terhadap karya anak muda.
Komunikasi simbolik ala Jokowi terhadap semangat berkarya generasi
muda akan lebih lengkap apabila dilandasi pula dengan komunikasi politik
yang rasional dan partisipatif. Dengan demikian, teladan yang hendak
diberikan oleh Jokowi tidak ditafsirkan melulu sebagai komunikasi
sensasionalisme atau berpaham popularitas belaka. Aspek-aspek
pengetahuan, kepentingan, dan rasionalitas perlu dikomunikasikan kepada
publik agar keputusan itu tidak berubah menjadi “politisasi mobil
Esemka”.
Sebaliknya pula, komunikasi ala Bibit dengan gaya cablaka juga perlu
dilengkapi dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif.
Rasionalitas, dengan memberi ruang pada aspek kebebasan, dan kepentingan
publik (dalam hal ini semangat berkarya generasi muda) juga akan
menghindarkan kemungkinan pesan tentang perlunya
pertimbangan-pertimbangan rasional sebagai pejabat publik dalam
mengambil keputusan bisa dipahami secara lebih utuh.
Dalam bukunya, Between Facts and Norms (1996), Habermas
memperlihatkan bagaimana menyusun argumentasi untuk suatu ruang publik
berhadapan dengan struktur politik dan hukum. Habermas memaknai ruang
publik tersebut sebagai suatu jaringan untuk mengomunikasikan berbagai
informasi dan berbagai cara pandang; arus-arus informasi dalam prosesnya
disaring dan diperdebatkan sedemikian rupa, sehingga menggumpal menjadi
simpul-simpul opini publik yang lebih spesifik menurut topiknya.
Dengan itu, barulah komunikator melakukan tindakan komunikatif yang
memenuhi dua aspek, yakni aspek teleologis dan aspek komunikatif. Dalam
tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara
kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Mengutip Reza AA
Wattimena, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai
kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi
masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat
terus dipertahankan.
Semua itu pada akhirnya bermuara pada tercapainya situasi masyarakat
yang komunikatif, partisipatif, dan deliberatif. Itulah dasar untuk
mencapai kemajuan demokrasi dan kreativitas kehidupan, yang mau tidak
mau harus dimulai dari komunikator elite selaku pemegang kekuasaan.
Persoalan mobil Esemka hanyalah contoh kecil karena Indonesia memang
masih membutuhkan komunikasi politik yang rasional untuk terciptanya
masyarakat demokratis-rasional yang terbebas dari ketertindasan terhadap
kesadaran palsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar