Sabtu, 21 April 2012

Komunikasi Politik yang Rasional

BELUM lagi sehari berlalu ketika banyak orang takjub, bangga, dan sebuncah perasaan optimistis menyimak kabar Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wakil Wali Kota Hadi Rudyatmo menjadikan mobil Esemka sebagai mobil dinas, sudah muncul kontroversi seputar keputusan tersebut. Adalah Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo yang menyatakan langkah itu merupakan tindakan sembrono. Tanpa tedheng aling-aling khas Bibit, dia mengatakan, keputusan pejabat tidak perlu didasari cari muka.
“Bangga itu boleh. Bangga bahwa anak-anak kita bisa berkarya luar biasa. Tapi kebanggaan itu yang terukur dong. Lha ini belum apa-apa, teruji saja belum kok sudah ada yang berani pasang pelat nomor (untuk kendaraan dinas ). Sembrono itu namanya. Kalau nanti sampai nabrak kebo gimana. Tidak usah cari muka lah,” sergah Bibit saat ditanya wartawan menanggapi penggunaan mobil Esemka itu.
Mobil Esemka adalah hasil rakitan siswa-siswa  SMKN 2 dan SMK Warga Surakarta, yang 80 persen komponennya dibuat di Batur, Klaten. Dua mobil bertipe Super Utility Vehicle (SUV) warna hitam metalik itu diciptakan para siswa dengan dukungan Kiat Motor dan Autocar Industri Komponen.
Setelah media massa memberitakan bahwa mobil rakitan siswa itu sebagai mobil dinas wali kota Solo, tiba-tiba saja Esemka bukan lagi sebagai mobil sebagai alat mobilitas. Ucapan Bibit Waluyo jelas menyiratkan bahwa oleh Jokowi, mobil itu telah dimanfaatkan sebagai bahan komunikasi politik dengan harapan muncul pencitraan tentang sosok Jokowi yang apresiatif dan mendukung karya anak bangsa.
Ada kerangka teori yang bisa menjelaskan hal itu, yakni teori komunikasi politik empati. Menurut teori ini, komunikasi politik diukur dari keberhasilan komunikator (subjek komunikasi) memproyeksikan diri dalam sudut pandang orang lain. Komunikasi politik berhasil apabila dapat menanamkan citra diri si komunikator dalam suasana alam pikiran masyarakat, atau secara ringkas, membangun empati masyarakat.
Jika Bibit seorang teoretikus, mungkin dia akan mengatakan kalau keputusan menggunakan Esemka sebagai mobil dinas lebih pas dipandang sebagai bagian dari komunikasi politik simbolik dan bukan sebagai keputusan kebijakan publik. Dalam komunikasi politik itu, elemen-elemen simbolik lebih kuat dibandingkan elemen-elemen rasional. Pertimbangan-pertimbangan rasional-teknis seperti misalnya aspek uji kelayakan, sertifikasi produk berada di belakang pertimbangan-pertimbangan pesan simbolik seperti apresiasi terhadap kreativitas, nasionalisme, kebanggaan pada karya anak bangsa, dan semacamnya.

Apakah Jokowi dan Hadi Rudyatmo keliru dalam keputusannya? Apakah Bibit Waluyo keliru dalam penilaiannya? Persoalan sebetulnya terletak pada komunikasi politik kedua belah pihak. Kasus “mobil Esemka” menjadi pelajaran yang menarik tentang betapa rumit dan kompleksnya praktik-praktik komunikasi, khususnya dalam hal ini adalah komunikasi politik antara pejabat publik dengan rakyat. Masyarakat tentu tidak dapat disalahkan ketika membingkai pernyataan Bibit dengan fakta “sejarah perseteruan” antara Jokowi dan Bibit beberapa bulan lalu. Karena itu, sekali lagi bingkai komunikasi politik sebetulnya bisa menjernihkan pandangan, melengkapi yang tidak utuh, dan mengoreksi cara komunikasi yang tidak tepat.

Komunikasi adalah berkah sekaligus kutukan. Seperti disimbolkan dalam kisah Menara Babel, umat manusia terpecah-belah ketika berkomunikasi tetapi tidak saling memahami karena masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda.

Kemampuan bahasa dan reproduksi saluran-saluran komunikasi adalah lompatan peradaban manusia, mendekatkan jarak sehingga muncul istilah global village tetapi juga memisahkan satu sama lain dalam jurang persepsi. Begitu banyak persoalan, mulai dari hubungan antara dua manusia, pada tingkat keluarga, kelompok kecil, masyarakat, hingga korporasi dan negara-bangsa, muncul akibat problem komunikasi.
Dalam kehidupan politik, hubungan antara elite dan publik, persoalan-persoalan komunikasi menjadi salah satu kajian yang tergolong esoteris dalam khazanah ilmu-ilmu sosial. Pada konteks Indonesia, kita mengalami bauran kompleksitas komunikasi politik akibat komunikasi gaya Amerika yang menekankan pada aspek pencitraan, sehingga sering pula disebut politik pencitraan. Penulis menyebutnya sebagai “gaya Amerika” karena modus komunikasi politik pencitraan secara sistematis melalui pemanfaatan media massa pertama kali dipraktikkan oleh Lyndon B Johnson saat bertarung dalam pemilu Amerika Serikat.
Pada 7 September 1964, tim kampanye Johnson menayangkan iklan politik yang terkenal dengan julukan “Daisy ad”. Iklan itu mengisahkan seorang gadis kecil memetik kuntum bunga daisy seraya menghitung sampai bilangan sepuluh. Kemudian, suara berat terdengar menghitung mundur dari sepuluh ke nol disusul dengan tayangan visual ledakan bom nuklir.

Pesan yang hendak disampaikan dalam iklan politik itu adalah bahwa calon incumbent Barry Goldwater bakal membawa AS dalam kancah perang nuklir apabila terpilih. Meski iklan tersebut hanya ditayangkan satu kali, persoalan bom nuklir menjadi isu sepanjang kampanye. Johnson memenangi pemilu dengan perolehan 61 persen suara, rekor dalam sejarah pemilu Amerika.
Sejak itulah, modus komunikasi politik Johnson ditiru, dikembangkan, dan diadopsi bukan saja oleh para politikus Amerika, tetapi juga di luar Amerika. Tony Blair adalah politikus yang menerapkan komunikasi politik gaya Amerika itu secara total dengan hasil kemenangan telak dan membawa kebangkitan kembali Partai Buruh atas Partai Konservatif di Inggris. Selanjutnya, komunikasi politik yang lebih populer diistilahkan political marketing itu menjadi modus utama komunikator politik di seantero dunia, termasuk Indonesia setelah Soeharto tumbang.

Dalam istilah Stendhal, modus komunikasi semacam itu seperti halnya menembakkan pistol ke udara di tengah keramaian. Letusan tersebut tentu membuat massa mengarahkan perhatian ke arah suara itu. Meraih perhatian publik adalah sasaran utama political marketing. Fokus inilah yang kemudian menggeser aspek esensi dalam komunikasi sehingga muncuk praktik “sensasi lebih penting daripada substansi”. Komunikasi politik lantas terjebak dalam sensasionalisme dengan berlomba-lomba mengejar perhatian publik, dengan semaksimal mungkin memanfaatkan media massa, meskipun harus mengabaikan substansi pesan.
Dampak berikutnya, media massa pun terjebak dalam sensionalisme karena unsur kemenarikan dalam political marketing adalah dahaga bagi media massa. Tabloidisasi media massa tidak terhindarkan, sehingga politik, media massa, dan publik terangkai dalam satu lingkaran yang saling memanfaatkan. Pakar linguistik Noam Chomsky menandaskan keprihatinan pada situasi ini dengan menyebut media massa melakukan praktik manufacturing consent, alias kesepahaman publik sebagai tindakan-tindakan manipulatif melalui mekanisme pembentukan opini publik.

Keprihatinan akan sensasionalisme dalam komunikasi politik itu lantas mendorong munculnya teori tentang komunikasi politik yang rasional. Masyarakat perlu dikembalikan pada area komunikasi politik yang rasional karena pada domain itulah demokrasi yang sejati bisa diharapkan. Salah satu pengusung rasionalitas komunikasi politik, Jurgen Habermas, mengembangkan Teori Kritis yang menitikberatkan pada aspek pengetahuan, kepentingan, rasionalitas, dan kebebasan sebagai elemen-elemen untuk membangun komunikasi yang rasional dan pada gilirannya juga partisipatif. Bagi Habermas tindakan komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi bersama.
Komunikasi politik yang rasional dan partisipatif akan menghindarkan kita dari keterjebakan pada komodifikasi politik, dan politisasi hal-hal yang sebetulnya tidak esensial dan tidak substansial bagi pematangan dan kebenaran politik.

Kembali pada kasus mobil Esemka, kita meyakini apabila pesan yang hendak disampaikan kepada anak-anak muda penerus bangsa adalah pesan semangat, apresiasi atas kerja keras dan kreativitas dengan tindakan nyata berupa mengakui dan menggunakan mobil itu sebagai mobil dinas. Ini tentu langkah yang bagus dari elite politik, sekali lagi dalam konteks apresiasi terhadap karya anak muda.
Komunikasi simbolik ala Jokowi terhadap semangat berkarya generasi muda akan lebih lengkap apabila dilandasi pula dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif. Dengan demikian, teladan yang hendak diberikan oleh Jokowi tidak ditafsirkan melulu sebagai komunikasi sensasionalisme atau berpaham popularitas belaka. Aspek-aspek pengetahuan, kepentingan, dan rasionalitas perlu dikomunikasikan kepada publik agar keputusan itu tidak berubah menjadi “politisasi mobil Esemka”.
Sebaliknya pula, komunikasi ala Bibit dengan gaya cablaka juga perlu dilengkapi dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif. Rasionalitas, dengan memberi ruang pada aspek kebebasan, dan kepentingan publik (dalam hal ini semangat berkarya generasi muda) juga akan menghindarkan kemungkinan pesan tentang perlunya pertimbangan-pertimbangan rasional sebagai pejabat publik dalam mengambil keputusan bisa dipahami secara lebih utuh.

Dalam bukunya, Between Facts and Norms (1996), Habermas memperlihatkan bagaimana menyusun argumentasi untuk suatu ruang publik berhadapan dengan struktur politik dan hukum. Habermas memaknai ruang publik tersebut sebagai suatu jaringan untuk mengomunikasikan berbagai informasi dan berbagai cara pandang; arus-arus informasi dalam prosesnya disaring dan diperdebatkan sedemikian rupa, sehingga menggumpal menjadi simpul-simpul opini publik yang lebih spesifik menurut topiknya.

Dengan itu, barulah komunikator melakukan tindakan komunikatif yang memenuhi dua aspek, yakni aspek teleologis dan aspek komunikatif. Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Mengutip Reza AA Wattimena, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus dipertahankan.

Semua itu pada akhirnya bermuara pada tercapainya situasi masyarakat yang komunikatif, partisipatif, dan deliberatif. Itulah dasar untuk mencapai kemajuan demokrasi dan kreativitas kehidupan, yang mau tidak mau harus dimulai dari komunikator elite selaku pemegang kekuasaan. Persoalan mobil Esemka hanyalah contoh kecil karena Indonesia memang masih membutuhkan komunikasi politik yang rasional untuk terciptanya masyarakat demokratis-rasional yang terbebas dari ketertindasan terhadap kesadaran palsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar