Sabtu, 21 April 2012

Dampak Komunikasi Politik

Cara komunikasi para politisi dalam berkampanye belakangan ini, menurut penilaian pakar komunikasi politik Effendi Gazali, memiliki dampak negatif dan positif, atau fifty-fifty. Komunikasi yang dilakukan untuk menggambarkan nilai-nilai atau pesan moral para politisi melalui media massa, tidak sepenuhnya positif, dan tidak pula sepenuhnya negatif. Pencitraan diri yang berusaha diciptakan para kader partai politik tersebut bisa sampai kepada masyarakat. Namun tidak selamanya cara tersebut yang paling efektif, apalagi dana yang dikeluarkan begitu besar.

Pernyataan tersebut disampaikan dosen yang juga menjabat sebagai Koordinator Program Master Komunikasi Politik Universitas Indonesia itu kepada SP seusai memberikan sebuah pidato ilmiah di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Jumat (18/7). Pidato ilmiah diadakan juga dalam rangka Dies Natalis ke-48 Unika Atma Jaya, sekaligus dibentuknya Jurusan Komunikasi di Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya, yang diperkirakan akan dibuka pada tahun 2009 mendatang.

Kendati Effendi tak menyebutkan secara detail mengenai apa yang menjadi dampak negatif dan positif dari komunikasi politik yang terjadi belakangan ini, namun secara garis besar ia menjabarkan beberapa analisisnya terhadap fenomena tersebut.

Dalam pidato ilmiahnya yang bertajuk Mencari Kejernihan di Tengah Tingginya Kegairahan: Peran Komunikasi dalam Bisnis dan Politik di Indonesia Masa Kini, Effendi mengambil salah satu contoh cara komunikasi yang marak digunakan oleh para politisi dalam berkampanye akhir-akhir ini, yaitu iklan dengan tema "Hidup itu adalah perbuatan", milik kader Partai Amanat Nasional, Sutrisno Bachir.

Mengkonfirmasi jumlah tersebut, dengan mengutip perkataan Sutrisno Bachir, yang mengatakan bahwa dirinya hanya meminta jajaran partai tidak merasa iri.

Toh Anda tak akan mampu menghitung," demikian kata Sutrisno Bachir, seperti yang ditiru Effendi.

Melihat kenyataan tersebut, Effendi mengutarakan pula rasa herannya menyangkut masyarakat yang menurut pengamatannya, justru seolah-olah tidak heran lagi dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sudah berjalan ratusan kali serta menghabiskan biaya untuk membayar tiket akomodasi dari partai-partai politik. Belum lagi biaya kampanye dan dukungan tim sukses serta sukarelawan, sampai antara Rp 5 hingga Rp 100 miliar lebih.

Padahal, katakanlah gaji resmi gubernur dan berbagai tunjangannya diperkirakan maksimal sekitar Rp 15 juta rupiah per bulannya, maka jumlah biaya yang dikeluarkan untuk berkampanye dapat dikatakan setara dengan total 60 bulan masa jabatan dikalikan dengan 15 juta. Bahkan itu pun masih baru berjumlah sekitar Rp 900 juta dan belum dipakai untuk kehidupan sehari-hari.

Kembali meminjam perkataan seorang pakar komunikasi, Victor Menayang, bahwa pada tahun-tahun jatuhnya rezim Soeharto, terdapat minat yang meningkat terhadap pendekatan kritikal dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk komunikasi dan studi-studi media, sebagai alat atau senjata untuk memerangi kekuasaan otoriter.

Tren-tren tersebut, menurut Effendi juga masih berlangsung hingga saat ini, mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam jumlah yang juga meningkat, tertarik mempertanyakan kekuasaan, distribusinya, dan bagaimana pembacaan atau interpretasi terhadap media yang sedang dilakukan oleh khalayak.

Segera setelah kejatuhan Soeharto, gerakan-gerakan reformasi memaksa pemerintah baru untuk melakukan deregulasi industri media. Liberalisasi ini memungkinkan industri untuk berkembang baik berupa media. Ilmu Komunikasi dengan cepat menjadi salah satu dari lapangan perguruan tinggi yang paling kompetitif di Indonesia.

Bahkan mahasiswa membanjiri sekolah-sekolah Ilmu Komunikasi, memperebutkan terutama kursi-kursi di program-program seputar penyiaran.

Di Universitas Indonesia, imbuhnya, komunikasi politik memiliki tujuan utama sebagai well-informed voter atau well-informed citizen.

Pada akhir pidato ilmiahnya, Effendi mengatakan bahwa beberapa pendidikan Ilmu Komunikasi, menurutnya, tidak secara langsung menangkap esensi komunikasi bisnis dan meletakkannya pada entitas studi strategic communication yang di dalamnya dapat menaungi mata kuliah atau kekhususan, seperti Komunikasi Pemasaran, Komunikasi Bisnis, Komunikasi Korporat, bahkan Manajemen Komunikasi Politik. Dengan demikian, ia berharap masukan tersebut dapat berguna bagi Jurusan Komunikasi yang akan segera dibuka dalam Fakultas Ilmu Administrasi, Unika Atma Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar