Cara komunikasi para politisi dalam berkampanye belakangan ini,
menurut penilaian pakar komunikasi politik Effendi Gazali, memiliki
dampak negatif dan positif, atau fifty-fifty. Komunikasi yang
dilakukan untuk menggambarkan nilai-nilai atau pesan moral para politisi
melalui media massa, tidak sepenuhnya positif, dan tidak pula
sepenuhnya negatif. Pencitraan diri yang berusaha diciptakan para kader
partai politik tersebut bisa sampai kepada masyarakat. Namun tidak
selamanya cara tersebut yang paling efektif, apalagi dana yang
dikeluarkan begitu besar.
Pernyataan tersebut disampaikan
dosen yang juga menjabat sebagai Koordinator Program Master Komunikasi
Politik Universitas Indonesia itu kepada SP seusai memberikan
sebuah pidato ilmiah di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Jumat
(18/7). Pidato ilmiah diadakan juga dalam rangka Dies Natalis ke-48
Unika Atma Jaya, sekaligus dibentuknya Jurusan Komunikasi di Fakultas
Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya, yang diperkirakan akan dibuka pada
tahun 2009 mendatang.
Kendati Effendi tak menyebutkan
secara detail mengenai apa yang menjadi dampak negatif dan positif dari
komunikasi politik yang terjadi belakangan ini, namun secara garis besar
ia menjabarkan beberapa analisisnya terhadap fenomena tersebut.
Dalam pidato ilmiahnya yang bertajuk Mencari Kejernihan di Tengah Tingginya Kegairahan: Peran Komunikasi dalam Bisnis dan Politik di Indonesia Masa Kini,
Effendi mengambil salah satu contoh cara komunikasi yang marak
digunakan oleh para politisi dalam berkampanye akhir-akhir ini, yaitu
iklan dengan tema "Hidup itu adalah perbuatan", milik kader Partai
Amanat Nasional, Sutrisno Bachir.
Mengkonfirmasi jumlah tersebut, dengan mengutip perkataan Sutrisno Bachir, yang mengatakan bahwa dirinya hanya meminta jajaran partai tidak merasa iri.
Toh Anda tak akan mampu menghitung," demikian kata Sutrisno Bachir, seperti yang ditiru Effendi.
Melihat
kenyataan tersebut, Effendi mengutarakan pula rasa herannya menyangkut
masyarakat yang menurut pengamatannya, justru seolah-olah tidak heran
lagi dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sudah berjalan
ratusan kali serta menghabiskan biaya untuk membayar tiket akomodasi
dari partai-partai politik. Belum lagi biaya kampanye dan dukungan tim
sukses serta sukarelawan, sampai antara Rp 5 hingga Rp 100 miliar lebih.
Padahal,
katakanlah gaji resmi gubernur dan berbagai tunjangannya diperkirakan
maksimal sekitar Rp 15 juta rupiah per bulannya, maka jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk berkampanye dapat dikatakan setara dengan total 60
bulan masa jabatan dikalikan dengan 15 juta. Bahkan itu pun masih baru
berjumlah sekitar Rp 900 juta dan belum dipakai untuk kehidupan
sehari-hari.
Kembali meminjam
perkataan seorang pakar komunikasi, Victor Menayang, bahwa pada
tahun-tahun jatuhnya rezim Soeharto, terdapat minat yang meningkat
terhadap pendekatan kritikal dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk komunikasi
dan studi-studi media, sebagai alat atau senjata untuk memerangi
kekuasaan otoriter.
Tren-tren tersebut, menurut Effendi
juga masih berlangsung hingga saat ini, mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam
jumlah yang juga meningkat, tertarik mempertanyakan kekuasaan,
distribusinya, dan bagaimana pembacaan atau interpretasi terhadap media
yang sedang dilakukan oleh khalayak.
Segera setelah
kejatuhan Soeharto, gerakan-gerakan reformasi memaksa pemerintah baru
untuk melakukan deregulasi industri media. Liberalisasi ini memungkinkan
industri untuk berkembang baik berupa media. Ilmu Komunikasi dengan
cepat menjadi salah satu dari lapangan perguruan tinggi yang paling
kompetitif di Indonesia.
Bahkan mahasiswa membanjiri
sekolah-sekolah Ilmu Komunikasi, memperebutkan terutama kursi-kursi di
program-program seputar penyiaran.
Di Universitas Indonesia, imbuhnya, komunikasi politik memiliki tujuan utama sebagai well-informed voter atau well-informed citizen.
Pada akhir pidato ilmiahnya, Effendi mengatakan bahwa beberapa pendidikan Ilmu Komunikasi, menurutnya, tidak secara langsung menangkap esensi komunikasi bisnis dan meletakkannya pada entitas studi strategic communication yang di dalamnya dapat menaungi mata kuliah atau kekhususan, seperti Komunikasi Pemasaran, Komunikasi Bisnis, Komunikasi Korporat, bahkan Manajemen Komunikasi Politik. Dengan demikian, ia berharap masukan tersebut dapat berguna bagi Jurusan Komunikasi yang akan segera dibuka dalam Fakultas Ilmu Administrasi, Unika Atma Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar