Minggu, 22 April 2012
Sabtu, 21 April 2012
Pengertian Komunikasi Politik
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah
komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik,
atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah.
Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik
bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai
komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR
· Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
· Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy. (Perloff).
· Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo). Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.
· Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966).
· Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).
· Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –“penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
· Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.
· Wikipedia: Political communication is a field of communications that is concerned with politics. Communication often influences political decisions and vice versa.
The field of political communication concern 2 main areas:
1. Election campaigns - Political communications deals with campaigning for elections.
2. Political communications is one of the Government operations. This role is usually fullfiled by the Ministry of Communications and or Information Technology.
· Mochtar Pabotinggi (1993): dalam praktek proses komunikasi politik sering mengalami empat distorsi.
1. Distorsi bahasa sebagai “topeng”; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
2. Distorsi bahasa sebagai “proyek lupa”; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
3. Distorsi bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh: gambaran buruk kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat.
4. Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang --monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR
· Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
· Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy. (Perloff).
· Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo). Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.
· Communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966).
· Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).
· Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –“penggabungan kepentingan” (interest aggregation” dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
· Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.
· Wikipedia: Political communication is a field of communications that is concerned with politics. Communication often influences political decisions and vice versa.
The field of political communication concern 2 main areas:
1. Election campaigns - Political communications deals with campaigning for elections.
2. Political communications is one of the Government operations. This role is usually fullfiled by the Ministry of Communications and or Information Technology.
· Mochtar Pabotinggi (1993): dalam praktek proses komunikasi politik sering mengalami empat distorsi.
1. Distorsi bahasa sebagai “topeng”; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
2. Distorsi bahasa sebagai “proyek lupa”; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.”
3. Distorsi bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh: gambaran buruk kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat.
4. Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang --monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.
Contoh Komunikasi Politik
Dunia politik kini tidak lepas dari dunia komunikasi.
Pasalnya, kegiatan politik dilandasi oleh komunikasi dalam menyampaikan
ide, gagasan, pendapat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan negara.
Menurut Almond (1960), komunikasi politik adalah bagian dari tujuh
sistem politik yang tidak berjalan sendiri, karena komunikasi membantu
sistem-sistem politik lainnya.
Komunikasi politik juga ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari, karena komunikasi selalu ditemui di belahan
dunia manapun. Untuk lebih memahami lagi apa itu komunikasi politik,
ada baiknya hal ini dijabarkan dalam beberapa contoh peristiwa
komunikasi politik di Indonesia.
Pemilihan Umum
Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden sudah tentu merupakan salah satu contoh komunikasi politik di Indonesia. Mengapa? Karena salah satu definisi politik adalah seni memperebutkan sesuatu, – dalam hal ini jabatan sebagai presiden.
Strategi dalam memperebutkan ‘bangku presiden’ ini
salah satunya terdapat dalam pencitraan para calon presiden yang
mengikuti pemilu.Pencitraan politik sebenarnya sudah merebak mulai Pemilu 1999 yang makin lama semakin berkembang hingga kini.
Masih ingat euforia Pemilu tahun
2009 lalu? Pencitraan Sutrisno Bachir, dari partai Partai Amanat
Nasional (PAN), yang memanfaatkan momentum 100 tahun Kebangkitan
Nasional dapat kita lihat dari iklan berslogan “Hidup adalah Perbuatan”.
Wiranto, dari partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), secara dramatis ikut
makan nasi aking bersama warga miskin dan mengiklankan tiga seri iklan
bertema kemiskinan. Megawati Soekarno Putri, dari partai PDIP
Perjuangan, yang dulu jarang berkomentar bahkan mengkritik pemerintah
dalam ungkapan-ungkapannya, hingga mengukuhkan citranya sebagai figur
yang peduli dengan wong cilik. Jusuf Kalla, dari partai Golongan Karya
(Golkar), hadir dengan slogan “Lebih Cepat Lebih Baik” dan “Beri Bukti,
Bukan Janji” yang mengklaim keberhasilan pembangunan infrastruktur dan
swasembada beras adalah hasil kontribusinya pada partai Golkar. Juga
pencitraan Susilo Bambang Yudhoyono, dari partai Demokrat, yang
mencitrakan hasil-hasil positif dari kinerjanya sebagai presiden di
tahun sebelumnya, seperti penurunan harga Bahan Bakar Minyak, beras
untuk rakyat miskin, peningkatan angka pendidikan, dan lain-lain.
Dalam bukunya, Komunikasi Politik (1993), Dan Nimmo menjelaskan bahwa setidaknya ada empat macam pencitraan politik, yaitu pure publicity(publisitas
melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial apa adanya) yang
dapat dilihat dalam pencitraan politik Sutrisno Bachir dengan slogan
“Hidup adalah Perbuatan” dan memanfaatkan momentum 100 tahun Kebangkitan
Nasional, free ride publicity (memanfaatkan akses untuk publisitas) yang banyak terlihat pada kampanye dalam mensponsori kegiatan sosial di masyarakat, tie-in publicity (memanfaatkan kegiatan luar biasa untuk publisitas), dan paid publicity
(publisitas berbayar lewat pembelian rubrik di media massa) yang
terpampang pada advertorial di berbagai media massa dan
spanduk-spanduknya.
Akan tetapi, politik akan berjalan dengan baik
apabila komunikasi verbal dan nonverbal terjalin dengan baik pula. Citra
yang sebenarnya akan dinilai bukan hanya dari tahap ‘pendekatan’ tetapi
juga tahap ‘pacaran’, yaitu ketika para calon presiden yang telah
terpilih menjadi presiden itu membuktikan apa yang telah dijanjikan dan
dicitrakan sebelumnya.
Kebijakan Pembangunan Gedung DPR
Pemilu memang merupakan aktivitas komunikasi
politik yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tidak
hanya itu, kasus-kasus kecil dalam negara ini juga tak luput dari
peristiwa komunikasi politik. Beberapa bulan silam peristiwa pembangunan
gedung DPR baru bernilai milyaran rupiah sempat menuai banyak komentar
dari masyarakat, terlebih komentar-komentar berbau negatif. Kebanyakan
masyarakat menilai pembangunan gedung DPR baru merupakan suatu
keborosan, karena banyak hal-hal tidak penting, seperti kolam renang dan
fasilitas mewah lainnya, yang akan diadakan untuk memfasilitasi para
petinggi negara tesebut. Masyarakat jelas menuai berbagai protes,
apalagi melihat kinerja DPR yang masih dipandang negatif oleh mayoritas
masyarakat.
Namun, nyatanya, Pramono Anung, wakil ketua DPR RI,
dalam kuliah umum di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
pada beberapa bulan lalu menyatakan bahwa hal tersebut tidak benar dan
hanya terjadi kesalahan komunikasi oleh konsultan yang menjelaskan
sehingga menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat.
Komunikasi politik di atas menjadi salah satu
komunikasi politik yang kurang efektif sehingga menimbulkan
kesalahpahaman informasi antara pemerintah dan masyarakat.
Statement Foke Soal Pemerkosaan yang Dipicu Cara Berpakaian Perempuan
Selain itu, komunikasi politik juga terjadi pada
pernyataan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, saat menanggapi masalah
tindak pemerkosaan yang kini marak terjadi di angkutan umum dipicu oleh
cara berpakaian perempuan. Foke, begitu Fauzi Bowo kerap disapa, pun
langsung meralat statement-nya itu. Foke, yang dikutip dari
Kompas Online, 17 September 2011, berkata, “Saya minta maaf, bahwa
pernyataan saya sebelumnya salah tafsir, Saya sama sekali tidak
bermaksud melecehkan kaum perempuan. Saya justru mengutuk aksi
pemerkosaan tersebut, pelaku harus dihukum seberat-beratnya.”
Permintaan maafnya itu ia sampaikan karena
pernyataan sebelumnya tentang rok mini menuai demo dari sekitar 50
perempuan yang menggelar aksinya di Bundaran HI, Jakarta, dengan memakai
rok mini. Mereka menyatakan kekecewaannya terhadap ucapan Foke.
Untungnya, Foke cepat menyatakan permohonan maaf.
Peristiwa tersebut termasuk dalam komunikasi
politik, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik juga
adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Hal
ini menunjukan adanya komunikasi dalam dunia politik dalam menghadapi
suatu masalah, yang mana komunikasi itu telah mewujudkan ruang dialog
antara kalangan pemerintah dan kalangan masyarakat.
SBY Menanggapi Peristiwa SMS dan BBM Gelap
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, juga
merupakan salah satu orang yang berperan dalam dunia komunikasi politik
di Indonesia. Bagaimana tidak, ia adalah orang yang dalam mewujudkan
politik itu sendiri. Politik di sini, menurut Plato, adalah cara
mewujudkan dunia cita masyarakat menjadi dunia nyata, dan tentunya ia
sangat berpengaruh, bukan?
Maka ketika ada persoalan SMS (Short Message Service) dan BBM (BlackBerry Messenger)
gelap yang menyerangnya pada 28 Mei 2011 yang mengaku sebagai Nazarudin
dengan bunyi, “Demi Allah, saya M Nazarudiin telah dijebak,
dikorbankan, dan difitnah. Karakter, karier, masa depan saya
dihancurkan. Dari Singapore saya akan membalas…”, masyarakat banyak yang
membicarakan hal itu.
Daniel Sparingga, Staf Khusus Presiden bagian Politik, menegaskan,“SMS
penuh tudingan tak berdasar ini sangat baik bagi sebuah dorongan yang
lebih besar untuk tetap rendah hati dan berbuat lebih banyak lagi untuk
kebajikan. Lebih penting dari semua itu, negeri ini memiliki banyak
persoalan serius dan Pak SBY adalah pribadi serius yang diperlukan
negeri ini. Tidak satupun SMS semacam itu akan mengalihkan perhatian SBY
dari hal-hal serius. (dikutip dari detikcom, pada 29 Mei 2011)“
Komunikasi politik dalam peristiwa ini terlihat
pada presiden SBY dan stafnya yang angkat bicara dan mengomunikasikan
pada masyarakat tentang permasalahan presiden yang diangkat secara
berlebihan di berbagai media massa saat itu.
Melihat dari berbagai peristiwa di atas,
komunikasi politik di Indonesia memang belum sepenuhnya
efektif.Kebebasan berpendapat yang seharusnya digunakan dengan baik
tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga oleh pemerintah, masih saja
menuai konflik. Walaupun begitu, tanpa adanya komunikasi, politik di
Indonesia akan pincang karena kehilangan salah satu sistemnya.
Dampak Komunikasi Politik
Cara komunikasi para politisi dalam berkampanye belakangan ini,
menurut penilaian pakar komunikasi politik Effendi Gazali, memiliki
dampak negatif dan positif, atau fifty-fifty. Komunikasi yang
dilakukan untuk menggambarkan nilai-nilai atau pesan moral para politisi
melalui media massa, tidak sepenuhnya positif, dan tidak pula
sepenuhnya negatif. Pencitraan diri yang berusaha diciptakan para kader
partai politik tersebut bisa sampai kepada masyarakat. Namun tidak
selamanya cara tersebut yang paling efektif, apalagi dana yang
dikeluarkan begitu besar.
Pernyataan tersebut disampaikan
dosen yang juga menjabat sebagai Koordinator Program Master Komunikasi
Politik Universitas Indonesia itu kepada SP seusai memberikan
sebuah pidato ilmiah di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Jumat
(18/7). Pidato ilmiah diadakan juga dalam rangka Dies Natalis ke-48
Unika Atma Jaya, sekaligus dibentuknya Jurusan Komunikasi di Fakultas
Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya, yang diperkirakan akan dibuka pada
tahun 2009 mendatang.
Kendati Effendi tak menyebutkan
secara detail mengenai apa yang menjadi dampak negatif dan positif dari
komunikasi politik yang terjadi belakangan ini, namun secara garis besar
ia menjabarkan beberapa analisisnya terhadap fenomena tersebut.
Dalam pidato ilmiahnya yang bertajuk Mencari Kejernihan di Tengah Tingginya Kegairahan: Peran Komunikasi dalam Bisnis dan Politik di Indonesia Masa Kini,
Effendi mengambil salah satu contoh cara komunikasi yang marak
digunakan oleh para politisi dalam berkampanye akhir-akhir ini, yaitu
iklan dengan tema "Hidup itu adalah perbuatan", milik kader Partai
Amanat Nasional, Sutrisno Bachir.
Mengkonfirmasi jumlah tersebut, dengan mengutip perkataan Sutrisno Bachir, yang mengatakan bahwa dirinya hanya meminta jajaran partai tidak merasa iri.
Toh Anda tak akan mampu menghitung," demikian kata Sutrisno Bachir, seperti yang ditiru Effendi.
Melihat
kenyataan tersebut, Effendi mengutarakan pula rasa herannya menyangkut
masyarakat yang menurut pengamatannya, justru seolah-olah tidak heran
lagi dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sudah berjalan
ratusan kali serta menghabiskan biaya untuk membayar tiket akomodasi
dari partai-partai politik. Belum lagi biaya kampanye dan dukungan tim
sukses serta sukarelawan, sampai antara Rp 5 hingga Rp 100 miliar lebih.
Padahal,
katakanlah gaji resmi gubernur dan berbagai tunjangannya diperkirakan
maksimal sekitar Rp 15 juta rupiah per bulannya, maka jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk berkampanye dapat dikatakan setara dengan total 60
bulan masa jabatan dikalikan dengan 15 juta. Bahkan itu pun masih baru
berjumlah sekitar Rp 900 juta dan belum dipakai untuk kehidupan
sehari-hari.
Kembali meminjam
perkataan seorang pakar komunikasi, Victor Menayang, bahwa pada
tahun-tahun jatuhnya rezim Soeharto, terdapat minat yang meningkat
terhadap pendekatan kritikal dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk komunikasi
dan studi-studi media, sebagai alat atau senjata untuk memerangi
kekuasaan otoriter.
Tren-tren tersebut, menurut Effendi
juga masih berlangsung hingga saat ini, mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam
jumlah yang juga meningkat, tertarik mempertanyakan kekuasaan,
distribusinya, dan bagaimana pembacaan atau interpretasi terhadap media
yang sedang dilakukan oleh khalayak.
Segera setelah
kejatuhan Soeharto, gerakan-gerakan reformasi memaksa pemerintah baru
untuk melakukan deregulasi industri media. Liberalisasi ini memungkinkan
industri untuk berkembang baik berupa media. Ilmu Komunikasi dengan
cepat menjadi salah satu dari lapangan perguruan tinggi yang paling
kompetitif di Indonesia.
Bahkan mahasiswa membanjiri
sekolah-sekolah Ilmu Komunikasi, memperebutkan terutama kursi-kursi di
program-program seputar penyiaran.
Di Universitas Indonesia, imbuhnya, komunikasi politik memiliki tujuan utama sebagai well-informed voter atau well-informed citizen.
Pada akhir pidato ilmiahnya, Effendi mengatakan bahwa beberapa pendidikan Ilmu Komunikasi, menurutnya, tidak secara langsung menangkap esensi komunikasi bisnis dan meletakkannya pada entitas studi strategic communication yang di dalamnya dapat menaungi mata kuliah atau kekhususan, seperti Komunikasi Pemasaran, Komunikasi Bisnis, Komunikasi Korporat, bahkan Manajemen Komunikasi Politik. Dengan demikian, ia berharap masukan tersebut dapat berguna bagi Jurusan Komunikasi yang akan segera dibuka dalam Fakultas Ilmu Administrasi, Unika Atma Jaya.
Peran Media Sebagai Alat Komunikasi Politik
Sebuah agenda besar dari demokrasi tentunya adalah Pemilu, baik itu
Pemilu Legislatif maupun eksekutif (kepala daerah/Presiden). Ketika
menjelang masa-masa Pemilu begitu riuhnya hiruk pikuk perpolitikan di
negeri kita. Seolah tidak ada yang lain lagi isu di negara ini, walaupun
ada namun nuansa politis sangat kental mengisi berbagai media. Begitu
kuatnya aroma intrik dalam masa-masa tersebut.
Kampanye Sebagai Komuniksai Politik
Jauh-jauh hari sudah banyak Parpol atau calon tertentu yang sudah
berkampanye secara terselubung. Mereka mulai berebut simpati massa lewat
pendekatan-pendejkatan persuasif. Semuanya mendadak menjadi baik hati,
dan perhatian terharap rakyat. Jelas kondisi ini sangat kontaras dengan
hari-hari biasanya.
Menjelang Pemilu adalah masa saatnya kampanye di mana setiap Parpol atau
calon melakukan pendekatan pada massa untuk menarik dukungan. Roger dan
Storey (dalam Antar Venus, 2004: 7) memberi pengertian kampanye sebagai
serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan
menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakuan
secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Perlu diperhatikan bahwa
pesan kampanye harus terbuka untuk didiskusikan dan dikritisi. Hal ini
dimungkinkan karena gagasan dan tujuan kampanye pada dasarnya mengandung
kebaikan untuk publik bahkan sebagian kampanye ditujukan sepenuhnya
untuk kepentingan dan kesejahtraan umum (public interest). Oleh karena itu isi pesan tidak boleh menyesatkan, maka disini tidak perlu ada pemaksaan dalam mempengaruhi.
Apapun ragam dan tujuannya, menurut Pflau dan Parrot, upaya perubahan
yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan, sikap,
dan prilaku. Dalam aspek pengetahuan diharapkan akan munculnya
kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan masyarakat
tentang isu tertentu, yang kemudian adanya perubahan dalam ranah sikap.
Pada tahap akhir dari tujuannya yaitu mengubah prilaku masyarakat
secara konkret berupa tindakan yang bersifat insidental maupun
berkelanjutan.
Kampanye dalam Pemilu pada dasarnya dianggap sebagai suatu ajang
berlangsungnya proses komunikasi politik tertentu, yang sangat tinggi
intensitasnya. Ini dikarenakan terutama dalam proses kampanye pemilu,
interaksi politik berlangsung dalam tempo yang meningkat. Setiap peserta
kampanye berusaha meyakinkanpara pemberi suara/konstituen, bahwa
kelompok atau golongannya adalah calon-calon yang paling layak untuk
memenangkan kedudukan.
Dalam masa kampanye Pemilu, media dalam hal ini media massa maupun
elektronik sangat potensial dalam hal memepengaruhi publik untuk
menggalang dukungan. Pada kasus pemilu jenis kampanye yang digunakan
adalah candidate-oriented campaigns atau kampanye yang
berorientasi pada kandidat yang dimotivasi untuk mendapatkan kekuasaan.
Karena memang tujuan dari kampanye Pemilu adalah untuk pengisian jabatan
publik (rekruitmen politik). Karena berbicara politik adalah berbicara
soal perebutan kekuasaan.
Pada dasawarsa yang lalu banyak teoritisi komunikasi masih memandang
media sebagai komponen komuniksasi yang netral. Pada waktu itu berlaku
asumsi bahwa media apapun yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan
komunikasi tidak akan mempengaruhi pemahaman dan penerimaan pesan oleh
masyarakat. Lalu bagaimanakah realitas media akhir-akhir atau saat ini
sebagai alat komunikasi politik dalam kampanye Pemilu? Apakah media
mampu mempertahankan kenetralannya dalam Pemilu?
Dalam sebuah negara yang belum demokratis, media massa yang netral
sangat sulit ditemukan. Hal ini dapat dipahamai karena pemerintah
memiliki otoritas yang kuat dalam menjaga stabilitas. Tak heran jika
media di dalam negara tersebut sangat selektif menyiarkan berita dan
tentunya melewati kontrol pemerintah.
Begitu juga kondisi media di negara Indonesia sejak dahulu. Media massa
yang ada pun biasanya merupakan representasi dari pemerintah atau Parpol
tertentu. Jadi begaimana media mampu berperan netral dalam menciptakan
demokrasi kalau dia sendiri lahir dari ‘tangan-tangan’ politik ?.
Pada masa orde baru media adalah pendukung pemerintah. Maka setiap
beritapun tentu selalu memuji pemerintah dan kalaupun ingin mengritik
pemerintah harus dengan cara yang amat halus dan tidak tajam. Begitu
juga saat Pemilu, media tentunya akan pro pada partai pemerintah.
Peran Media Massa
Menurut Mc Quail, secara umum media massa memiliki berbagai fungsi bagi
khalayaknya yaitu pertama, sebagai pemberi informasi; kedua, pemberian
komentaratau interpretasi yang membantu pemahaman maknainformasi;
ketiga, pembentukan kesepakatan; keempat, korelasi bagian-bagian
masyarakat dalam pemberian respon terhadap lingkungan; kelima, transmisi
warisan budaya; dan keenam, ekspresi nilai-nilai dan simbol budaya yang
diperlukan untuk melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat
(dalam Yuniati, 2002: 85).
Oleh karena itu media massa seharusnya menjadi sarana pencerahan dan
transformasi nilai-nilai kebenaran agar masyarakat dapat melihat secara
apa adanya. Media sebaiknya tidak memunculkan kesan menilai atau
keberpihakan khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Biarlah masyarakat
sendiri yang akan menilai. Yang diperlukan media hanyalah menyampaikan
informasi yang sebenarnya, jelas hitam putihnya. Sehingga masyarakat
tidak terjebak pada pilihan mereka, karena persoalan Pemilu adalah
persoalan masa depan bangsa. Media harus mampu bersikap objektif dalam
penayangan berita.
Pengaruh Televisi
Dalam hal kampanye, media massa baik cetak maupun elektronik merupakan
sebuah salauran kampanye terhadap konstituen. Apalagi dengan arus
teknologi ini, rasanya media elektronik menjadi salauran utama bagi
jalan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat khususnya dalam masa
kampanye Pemilu. Medium ini telah berkembang pesat seiring dengan
perkembangan teknologi. Hal itu salah satunya disebabkan sudah banyaknya
masyarakat yang memiliki televisi maupun radio, bahkan sebagian lagi
sudah mampu menggunakan internet. Oleh karena itu banyak Partai maupun
calon yang akan berkompetisi di Pemilu menggunakan sarana atau saluran
kampanye melalui media elektronik khususnya televisi.
Banyak sedikitnnya penayangan yang berhubungan dengan transformasi
ataupun sosialisasi visi dan misi dari sebuah Partai maupun calon yang
dijagokannya akan sangat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadapnya.
Oleh karena itu, bagi yang ingin mendapat kemenangan suara harus mampu
“menguasai” media ini dengan penayangan iklannya. Tetapi tidak sedikit
biaya tentunya.
Contoh kasus bisa kita lihat pada Pemilu tahun 2004 kemarin khususnya
Pemilu pemilihan presiden. Siapa yang sering terlihat di layar TV dari
setiap stasiun televisi, dialah yang berhasil menarik simpati
masyarakat. Saya teringat pada masa Pemilu legislatif di TPS ada seorang
nenek yang bertanya pada petugas TPS untuk menunjukkan mana yang
berlambang moncong putih yang akan dia coblos. Dengan enteng nenek
tersebut berargumen bahwa bukannya gambar moncong putih yang harus
dicoblos menurut iklan televisi dan yang sering diingatnya. Juga atusias
kaum ibu-ibu yang riuh dalam mencoblos foto SBY sebagai idolanya bukan
karena kesadaran politik.
Dari ilustrasi ini menggambarkan begitu kuatnya pengaruh media televisi
untuk mempengaruhi orang awam sekalipun seperti mereka. Dengan televisi,
kampanye mampu menjangkau orang-orang yang cacat sekalipun seperti tuna
netra dan tuna rungu. Bagi mereka yang takdapat melihat, bisa menikmati
dengan mendengar, begitu juga bagi yang tak dapat mendengar dapat
menikmatinya dengan visualisasinya. Selain faktor aktualitas, televisi
dengan karakteristik audio visualnya memberikan sejumlah keunggulan,
diantaranya mampu menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara
bersamaan dan hidup, serta dapat menayangkan ruang yang sangat luas
kepada sejumlah besar pemirsa dalam waktu bersamaan (Nurrahmawati, 2002:
97).
Iklan tidak hanya sering tapi juga harus menarik dan mudah diingat oleh
masyarakat. Pemberitaan mengenai Partai maupun tokoh juga berpengaruh
terhadap persepsi masyarakat. Misalnya Partai mana saja yang sering
melakukan kecurangan atau bertindak anarki akan dapat di lihat
masyarakat secara aktual. Oleh karena itu opini yang ‘sengaja’ dibentuk
oleh media menjadi senjata untuk menaikan ataupun menjatuhkan pamor
salah satu kontestan Pemilu.
Dengan demikian diperlukan obyektivitas dan netralitas dari media itu
sendiri agar tercipta iklim yang baik dalam masa Pemilu. Namun kita juga
tidak boleh melupakan salah satu tujuan usaha yaitu tentunya profit.
Artinya kita jangan mudah terpedaya oleh media massa yang
mengatasnamakan berimbang dan tidak memihak. Karena penayangan iklan
tentunya tidak gratis. Banyak sedikitnya penayangan ditentukan oleh
besar kecilnya biaya. Selain itu juga kita perlu melihat siapa yang ada
di balik media itu. Sedekat apakah hubungan antara sebuah media dengan
pemerintah, Parpol, maupun tokoh politik lainnya? Ini sebagai parameter
untuk mengukur netralitas sebuah media. Karena ini mempengaruhi pada
setiap pemberitaan oleh media.
Tentunya kita sering melihat sebuah media lebih condong pada pemerintah
atau partai tertentu. Kalau kita jeli dalam mencermati berita oleh media
cetak ataupun elektronik, terkadang pemeberitaan selalu menyudutkan
salah satu pihak dan mengunggulkan pihak yang lain. Selalu mencari
kesalahan pihak ‘lawan’ tanpa melihat juga kesalahan pihak yang dibela.
Pengaruh Surat Kabar
Selain televisi, surat kabar atau media cetak memiliki andil dalam
pembentukan persepsi masyarakat. Persepsi merupakan sebuah proses
pemberian makna terhadap apa yang kita tangkap dari indera kita,
sehingga kita memperoleh pengetahuan baru dari hal tersebut. Persepsi
sangat dipengaruhi oleh informasi yang ditangkap secara keseluruhan.
Begitu juga dengan pencitraan pada dasarnya juga dipengaruhi oleh
informasi yang diterima dan dipersepsi.
Informasi atau berita dalam media massa merupakan hasil seleksi yang
dilakukan oleh gatekeeper yang dijabat oleh pemimpin redaksi atau
redaktur pelaksana surat kabar. Berita dalam surat kabar sendiri dapat
didefinisikan sebagai sebuah laporan dari suatu kejadian penting dan
dianggap menarik perhatian umum. Berita merupakan salah satu informasi
yang diberikan oleh surat kabar. Dalam hal penyajian berita harus
melalui seleksi. Karena isi berita sangat berpengaruh pada minat
masyarakat untuk membaca.
Oleh karena adanya seleksi dalam pemuatan berita, maka tidak semua berita atau informasi yang ada dapat ter-expose.
Berita yang dimuat biasanya hanya berita yang memiliki nilai jual.
Terkadang dari sinilah kurang netralnya sebuah media. Media hanya
mementingkan keuntungan saja, terkadang media kurang memeprhatikan
masyarakat kecil khususnya. Sehingga mereka tak pernah terjamah oleh
dunia elit.
Patterson berkesimpulan bahwa informasi surat kabar lebih efektif bagi
khalayak dibanding televisi. Sajian berita surat kabar selain bentuk
kata tercetak, juga kerap dalam bentuk visual berupa foto berita,
lambang patai politik, atau karikatur. Dari asumsi ini terlihat bahwa
surat kabar memiliki pengaruh yang besar pula dalam kampanye politik.
Menurut hasil penelitian terhadap mahasiswa, bahwa penonjolan berita
pemilu melalui frekuensi pemunculan berita dan judul berita Organisasi
Peserta Pemilu (OPP) terhadap persepsi mahasiswa tentang partai politik
menunjukkan pengaruh yang signifikan (Yuniati, 2002). Suatu pesan atau
berita yang sering diulang-ulang akan dapat menarik perhatian seseorang
dabanding dengan pesan yang kurang banyak diungkapkan. Terlebih jika
suatu berita serentak di berbagai surat kabar maupun televisi
ditayangkan. Dalam surat kabar, sebuah berita besar atau yang menjadi
topik utama selalu ditempatkan di halaman depan dengan judul yang
menarik dan membuat penasaran ditambah dengan foto yang mendukung.
Semakin sering seorang tokoh atau berita tentang partai dimuat di
halaman itu, maka akan semakin terkenallah dia. Kita coba ingat kembali
berita dalam surat kabar pada waktu menjelang Pemilu 2004. Siapakah
calon, tokoh, atau partai yang sering ‘berpose’ di halaman utama.
Tentunya kita sering melihat berita tentang tokoh baru tersebut,
tentunya seorang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama dan
partainya begitu sering muncul, ditambah dengan berita yang membuat
simpati pada tokoh tersebut akibat disia-siakan oleh pemerintah sewaktu
menjabat menteri.
Ternyata media massa baik surat kabar maupun televisi berpengaruh sangat
besar bagi pemenangan dalam Pemilu. Komunikasi politik lebih efektif
melalui sarana tidak langsung atau menggunakan media tersebut. Karena
pesan yang disampaikan akan serentak diketahui oleh orang banyak di
segala penjuru dan juga dapat diulang-ulang penayangannya. Persepsi,
interpretasi, maupun opini publik mudah dipengaruhi lewat iklan maupun
berita dalam media. Maka untuk menghindari terjadinya disfungsi media,
media harus bisa menjadi penengah atau perantara antara pemerintah, elit
partai, dan masyarakat. Di masa reformasi ini, dimana sudah mulai ada
kebebasan pers seharusnya pers harus mengubah pola kerjanya yang semula
‘menjilat’ pemerintah karena terpaksa, tetapi sekarang harus netral dan
sebagai alat kritik sosial bagi pemerintah maupun masyarakat.
Memahami Komunikasi Politik SBY
Kadang, komunikasi politik Presiden SBY terlihat begitu normatif, bahwa semua
tindakannya terukur, terarah, terkendali, predictable, dan sesuai dengan
yang ada dalam bayangan kita. Pokoknya, semua berjalan baik-baik saja.
Pada saat yang lain, tindakan presiden yang sering maju–mundur itu mengomunikasikan
bahwa ia sendiri pun tak tahu mengatasi kekuatan politik lain yang
dirangkulnya sendiri sehingga tak bisa membangun gaya kepemimpinan
sesuai dengan karakter personalnya. Kombinasi dua hal yang bertentangan
ini membuat kita sulit memahami komunikasi politik Presiden SBY.
Dari
begitu banyak pakar komunikasi politik yang mengamatinya, kesulitan
memahami itu bukan terletak pada gagalnya ilmu komunikasi dalam
menjelaskan perkembangan praktik komunikasi politik actual. Tetapi lebih
pada ketidakhabispikiran mereka mengapa komunikasi politik Presiden SBY
menjadi lemah ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik yang mengelilinginya.
Saya
melihat bahwa pakar-pakar ini sebenarnya tidak rela jika presiden
sebagai komunikator politik utama negeri ini tidak dominan di tengah
begitu besar potensi komunikasi yang ia miliki.Di manapun di dunia ini,
yang namanya komunikator politik adalah mereka yang berhasil
mengondisikan publik segala level dengan komunikasinya.
Sebaliknya,
keberhasilan komunikator politik pada level-level bawah saja seringkali
dianggap sebagai nasib baik atau malah telah mengambil keuntungan
politis dari terbatasnya pengetahuan level bawah yang mayoritas itu.
Ketika
para pengamat atau politisi melihat seorang elit politik sukses lebih
karena retorika atau persuasinya pada level bawah, maka mereka melihat
titik lemah demokrasi--yang selalu memrioritaskan suara mayoritas
sebagai suara kebenaran--telah dimanfaatkan oleh elite untuk raihan
politis atas keterbatasan pengetahuan level bawah. Beberapa waktu
lamanya, mereka yang peduli akan mendorong presiden agar beraksi nyata
dalam mengurusi rakyat yang telah memberi mandat besar itu.
Akan tetapi, sering sekali ada kekecewaan terhadap Presiden SBY yang dinilai
tidak bertindak nyata di tengah mandat besar di tagannya. Akibatnya,
langkah-langkah Presiden semakin sulit dipahami karena para pengamat
atau politisi tadi berusaha mendorong presiden dengan cara mengritiknya.
Lalu,
seringkali reaksi presiden atas kritik sulit diambil simpulan
definitifnya. Ketika ini terjadi antara presiden dengan kritikusnya,
maka orientasi pembahasan juga seringkali bergeser ke persoalan makna
kata. Lalu, berhenti di sana karena lelah atau ada kasus lain yang
sebagian besar juga akan berakhir sama.
Pusatnya Presiden
Secara
sistim komunikasi, Presiden hanya satu dan menjadi pusat utama sistim
komunikasi politik itu. Itulah sebabnya mengapa para juru bicara sering
dianggap sebagai sumber informasi skunder tentang berbagai hal. Dalam
situasi ini, para komunikator politik yang menjadi kritikusnya jelas
lebih banyak secara kuantitas, sekaligus juga lebih sulit dipahami
karena terlalu banyak. Ketika
ini terjadi, orang langsung mengarahkan diri menjadi komunikan presiden
saja. Di sinilah presiden seharusnya berkomunikasi secara jelas dan
definitif maksudnya agar semua unit komunikasi menjadi sinkron
dengannya.
Sayangnya,
Presiden SBY kerap terlihat tidak menggunakan potensinya sebagai pusat
komunikasi ini untuk menimbulkan kesamaan pemahaman tentang objek yang
dibahasnya. Malah, dalam masalah reshuffle atau nasib koalisi belakangan
ini, ia membuat orang-orang di sekitarnya menjadi terlihat tidak
sejalan komunikasinya dengan presiden.
Akibatnya,
orang melupakan kebingungan kepada orang-orang di sekitar presiden dan
para kritikusnya dan kembali berharap presiden sebagai pusat komunikasi
dan klarifikasi. Lalu, kembali kebingungan sehingga melupakan masalah
secara temporal dianggap sebagai solusinya.
Sebenarnya,
di sinilah Presiden SBY harus belajar kepada pendahulunya, yaitu mantan
Presiden Abdurrahman Wahid yang sering menimbulkan kebingungan juga
akibat pernyataannya yang sering kontroversial itu. Di sini, ada
karakteristik bahasa tubuh yang sangat berbeda antara keduanya. Bukan
maksud saya membandingkan karena keduanya tetap menimbulkan kebingungan
bagi saya pribadi, tetapi sebaiknya ada kesesuaian antara bahasa tubuh
yang serius dengan bahasa kata-kata yang juga harus memberi klarifikasi
yang efektif dan efisien.
Kalau
kita ingat Presiden Abdurrahman Wahid lengser karena salah satunya
adalah ia selalu menimbulkan kontroversi dengan kata-katanya, maka di
sinilah Presiden SBY harus mengerti betapa pentingnya keselarasan antara
bahasa tubuh, bahasa kata-kata, dan tindakan itu.
Bayangkan,
dengan bahasa tubuh yang serius dan bahasa kata-kata yang sedemikian
baiknya, meskipun maknanya selalu multitafsir dan aksi nyata
yang terkadang tidak hadir, menjadi modal utama untuk ia menarik
simpati rakyat. Jadi, alangkah bijkasananya jika potensi komunikasi yang
dimilikinya itu plus ahli-ahli di sekitarnya itu digunakan untuk
membuat rakyat tahu secara jelas dan bertindak sesuai dengan apa yang
dikomunikasikan oleh presiden.
Sebenarnya,
semua karakteristik dan gaya komunikasi yang dimiliki para pemimpin
adalah istimewa. Soekarno dengan gaya yang meledak dan orasi yang
membakar, Soeharto yang sederhana dan kerap membunyikan vokal a menjadi e
lemah, Habibie dengan gaya teknokratnya, Gus Dur yang selalu humoris
seenaknya, Megawati dengan keperempuanannya, sampai SBY hari ini yang
santun dan bakunya, semua itu adalah dibutuhkan sesuai zamannya.
Sekaligus,
ini menunjukkan bahwa semua presiden punya kelemahan komunikasi yang
sama nilainya, hanya bentuknya saja yang berbeda-beda. Tapi sebagai
Presiden Indonesia di abad 21 dan yang pertama yang dipilih secara
langsung, alangkah elegan-nya kalau SBY mengartikulasikan keistimewaan
pendahulunya itu dalam gaya komunikasi kata dan tindakan sambil
meminimalisasi semua kelemahan pendahulunya.
Pemilihan
secara langsung ini juga menimbulkan tuntutan baru di masyarakat atas
presidennya, yaitu komunikasi yang lebih langsung, baik prosesnya maupun
maknanya. Itulah sebabnya mengapa Presiden SBY sering dituntut untuk
lebih baik lagi dalam komunikasinya kepada rakyat. Sebaliknya, akan
sangat terasa kekecewaan rakyat jika komunikasi Presiden SBY sering
tidak jelas atau berbeda dengan kenyataan.
Agar dipahami
Agar
komunikasi politik presiden, siapapun presidennya, mudah dipahami,
maka semua kita tahu metodenya, yaitu sesuaikan antara kata dengan
tindakan. Orang cenderung tidak terlalu kecewa jika Presiden SBY
mengambil kata dan tindakan yang berbeda dengan keinginan orang tersebut
karena bagaimanapun begitulah hidup ini, selalu berbeda. Kekecewaan
yang mendalam adalah jika berkali-kali presiden hanya sesuai dengan
rakyat secara kata-kata saja.
Dan
dalam seni komunikasi politik, justru karena adanya perbedaan inilah
para pemimpin itu bisa membuat kagum, bahwa dalam hal yang memang
diperlukan dan batas-batas tertentu, ia adalah orang yang berkarakter
kuat.
Saya
masih sangat ingat iklan pertama SBY sebelum melangkah mencalonkan diri
menjadi presiden pada 2004. Dalam iklan tersebut, salah satu kalimatnya
adalah, “Mari kita dengar suara rakyat”. Pada saat itu, kalimat bernada
demokratis itu didukung oleh karakter fisik yang kuat sehingga menjadi
begitu berbeda di mata kita. Pada pidato-pidato pertamanya setelah ia
menjadi presiden, kalimat, “Mari... menuju lebih baik” masih sering
digunakan. Setelah itu, orang kemudian menanti bagaimana teknik
operasional konkret untuk menjadi lebih baik itu. Ketika keadaan tidak
banyak berobah, orang kemudian mempertanyakan kalimat-kalimat seperti
itu sebagai sulit dipahami.
Kini,
sisa masa pemerintahan Presiden SBY tinggal 3 tahun lebih sedikit.
Tentu ia masih melaksanakan tugasnya salahsatunya bersifat
komunikasional. Maka, waktu tiga tahun itu masih cukup panjang untuk dia
bisa dipahami secara komunikasi.
Selain
itu, bangsa Indonesia juga harus belajar bahwa komunikatif dalam
pemerintahan dan kenegaraan sangatlah perlu. Karena tidak komunikatiflah
maka kita merasakan banyak pihak yang saling mengancam belakangan ini,
mulai dari ancaman kecil dan halus sampai terang-terangan.
Mengapa
terjadi saling ancam ? Karena mereka menganggap komunikasi yang normal
tidak banyak memberi hasil di tengah mereka belum mau melakukannya
secara normal.
Komunikasi Politik yang Rasional
BELUM lagi sehari berlalu ketika banyak orang
takjub, bangga, dan sebuncah perasaan optimistis menyimak kabar Wali
Kota Solo Joko Widodo dan Wakil Wali Kota Hadi Rudyatmo menjadikan mobil
Esemka sebagai mobil dinas, sudah muncul kontroversi seputar keputusan
tersebut. Adalah Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo yang menyatakan
langkah itu merupakan tindakan sembrono. Tanpa tedheng aling-aling khas
Bibit, dia mengatakan, keputusan pejabat tidak perlu didasari cari muka.
“Bangga itu boleh. Bangga bahwa anak-anak kita bisa berkarya luar biasa. Tapi kebanggaan itu yang terukur dong. Lha ini belum apa-apa, teruji saja belum kok sudah ada yang berani pasang pelat nomor (untuk kendaraan dinas ). Sembrono itu namanya. Kalau nanti sampai nabrak kebo gimana. Tidak usah cari muka lah,” sergah Bibit saat ditanya wartawan menanggapi penggunaan mobil Esemka itu.
Mobil Esemka adalah hasil rakitan siswa-siswa SMKN 2 dan SMK Warga Surakarta, yang 80 persen komponennya dibuat di Batur, Klaten. Dua mobil bertipe Super Utility Vehicle (SUV) warna hitam metalik itu diciptakan para siswa dengan dukungan Kiat Motor dan Autocar Industri Komponen.
Setelah media massa memberitakan bahwa mobil rakitan siswa itu sebagai mobil dinas wali kota Solo, tiba-tiba saja Esemka bukan lagi sebagai mobil sebagai alat mobilitas. Ucapan Bibit Waluyo jelas menyiratkan bahwa oleh Jokowi, mobil itu telah dimanfaatkan sebagai bahan komunikasi politik dengan harapan muncul pencitraan tentang sosok Jokowi yang apresiatif dan mendukung karya anak bangsa.
Ada kerangka teori yang bisa menjelaskan hal itu, yakni teori komunikasi politik empati. Menurut teori ini, komunikasi politik diukur dari keberhasilan komunikator (subjek komunikasi) memproyeksikan diri dalam sudut pandang orang lain. Komunikasi politik berhasil apabila dapat menanamkan citra diri si komunikator dalam suasana alam pikiran masyarakat, atau secara ringkas, membangun empati masyarakat.
Jika Bibit seorang teoretikus, mungkin dia akan mengatakan kalau keputusan menggunakan Esemka sebagai mobil dinas lebih pas dipandang sebagai bagian dari komunikasi politik simbolik dan bukan sebagai keputusan kebijakan publik. Dalam komunikasi politik itu, elemen-elemen simbolik lebih kuat dibandingkan elemen-elemen rasional. Pertimbangan-pertimbangan rasional-teknis seperti misalnya aspek uji kelayakan, sertifikasi produk berada di belakang pertimbangan-pertimbangan pesan simbolik seperti apresiasi terhadap kreativitas, nasionalisme, kebanggaan pada karya anak bangsa, dan semacamnya.
Apakah Jokowi dan Hadi Rudyatmo keliru dalam keputusannya? Apakah Bibit Waluyo keliru dalam penilaiannya? Persoalan sebetulnya terletak pada komunikasi politik kedua belah pihak. Kasus “mobil Esemka” menjadi pelajaran yang menarik tentang betapa rumit dan kompleksnya praktik-praktik komunikasi, khususnya dalam hal ini adalah komunikasi politik antara pejabat publik dengan rakyat. Masyarakat tentu tidak dapat disalahkan ketika membingkai pernyataan Bibit dengan fakta “sejarah perseteruan” antara Jokowi dan Bibit beberapa bulan lalu. Karena itu, sekali lagi bingkai komunikasi politik sebetulnya bisa menjernihkan pandangan, melengkapi yang tidak utuh, dan mengoreksi cara komunikasi yang tidak tepat.
Komunikasi adalah berkah sekaligus kutukan. Seperti disimbolkan dalam kisah Menara Babel, umat manusia terpecah-belah ketika berkomunikasi tetapi tidak saling memahami karena masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda.
Kemampuan bahasa dan reproduksi saluran-saluran komunikasi adalah lompatan peradaban manusia, mendekatkan jarak sehingga muncul istilah global village tetapi juga memisahkan satu sama lain dalam jurang persepsi. Begitu banyak persoalan, mulai dari hubungan antara dua manusia, pada tingkat keluarga, kelompok kecil, masyarakat, hingga korporasi dan negara-bangsa, muncul akibat problem komunikasi.
Dalam kehidupan politik, hubungan antara elite dan publik, persoalan-persoalan komunikasi menjadi salah satu kajian yang tergolong esoteris dalam khazanah ilmu-ilmu sosial. Pada konteks Indonesia, kita mengalami bauran kompleksitas komunikasi politik akibat komunikasi gaya Amerika yang menekankan pada aspek pencitraan, sehingga sering pula disebut politik pencitraan. Penulis menyebutnya sebagai “gaya Amerika” karena modus komunikasi politik pencitraan secara sistematis melalui pemanfaatan media massa pertama kali dipraktikkan oleh Lyndon B Johnson saat bertarung dalam pemilu Amerika Serikat.
Pada 7 September 1964, tim kampanye Johnson menayangkan iklan politik yang terkenal dengan julukan “Daisy ad”. Iklan itu mengisahkan seorang gadis kecil memetik kuntum bunga daisy seraya menghitung sampai bilangan sepuluh. Kemudian, suara berat terdengar menghitung mundur dari sepuluh ke nol disusul dengan tayangan visual ledakan bom nuklir.
Pesan yang hendak disampaikan dalam iklan politik itu adalah bahwa calon incumbent Barry Goldwater bakal membawa AS dalam kancah perang nuklir apabila terpilih. Meski iklan tersebut hanya ditayangkan satu kali, persoalan bom nuklir menjadi isu sepanjang kampanye. Johnson memenangi pemilu dengan perolehan 61 persen suara, rekor dalam sejarah pemilu Amerika.
Sejak itulah, modus komunikasi politik Johnson ditiru, dikembangkan, dan diadopsi bukan saja oleh para politikus Amerika, tetapi juga di luar Amerika. Tony Blair adalah politikus yang menerapkan komunikasi politik gaya Amerika itu secara total dengan hasil kemenangan telak dan membawa kebangkitan kembali Partai Buruh atas Partai Konservatif di Inggris. Selanjutnya, komunikasi politik yang lebih populer diistilahkan political marketing itu menjadi modus utama komunikator politik di seantero dunia, termasuk Indonesia setelah Soeharto tumbang.
Dalam istilah Stendhal, modus komunikasi semacam itu seperti halnya menembakkan pistol ke udara di tengah keramaian. Letusan tersebut tentu membuat massa mengarahkan perhatian ke arah suara itu. Meraih perhatian publik adalah sasaran utama political marketing. Fokus inilah yang kemudian menggeser aspek esensi dalam komunikasi sehingga muncuk praktik “sensasi lebih penting daripada substansi”. Komunikasi politik lantas terjebak dalam sensasionalisme dengan berlomba-lomba mengejar perhatian publik, dengan semaksimal mungkin memanfaatkan media massa, meskipun harus mengabaikan substansi pesan.
Dampak berikutnya, media massa pun terjebak dalam sensionalisme karena unsur kemenarikan dalam political marketing adalah dahaga bagi media massa. Tabloidisasi media massa tidak terhindarkan, sehingga politik, media massa, dan publik terangkai dalam satu lingkaran yang saling memanfaatkan. Pakar linguistik Noam Chomsky menandaskan keprihatinan pada situasi ini dengan menyebut media massa melakukan praktik manufacturing consent, alias kesepahaman publik sebagai tindakan-tindakan manipulatif melalui mekanisme pembentukan opini publik.
Keprihatinan akan sensasionalisme dalam komunikasi politik itu lantas mendorong munculnya teori tentang komunikasi politik yang rasional. Masyarakat perlu dikembalikan pada area komunikasi politik yang rasional karena pada domain itulah demokrasi yang sejati bisa diharapkan. Salah satu pengusung rasionalitas komunikasi politik, Jurgen Habermas, mengembangkan Teori Kritis yang menitikberatkan pada aspek pengetahuan, kepentingan, rasionalitas, dan kebebasan sebagai elemen-elemen untuk membangun komunikasi yang rasional dan pada gilirannya juga partisipatif. Bagi Habermas tindakan komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi bersama.
Komunikasi politik yang rasional dan partisipatif akan menghindarkan kita dari keterjebakan pada komodifikasi politik, dan politisasi hal-hal yang sebetulnya tidak esensial dan tidak substansial bagi pematangan dan kebenaran politik.
Kembali pada kasus mobil Esemka, kita meyakini apabila pesan yang hendak disampaikan kepada anak-anak muda penerus bangsa adalah pesan semangat, apresiasi atas kerja keras dan kreativitas dengan tindakan nyata berupa mengakui dan menggunakan mobil itu sebagai mobil dinas. Ini tentu langkah yang bagus dari elite politik, sekali lagi dalam konteks apresiasi terhadap karya anak muda.
Komunikasi simbolik ala Jokowi terhadap semangat berkarya generasi muda akan lebih lengkap apabila dilandasi pula dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif. Dengan demikian, teladan yang hendak diberikan oleh Jokowi tidak ditafsirkan melulu sebagai komunikasi sensasionalisme atau berpaham popularitas belaka. Aspek-aspek pengetahuan, kepentingan, dan rasionalitas perlu dikomunikasikan kepada publik agar keputusan itu tidak berubah menjadi “politisasi mobil Esemka”.
Sebaliknya pula, komunikasi ala Bibit dengan gaya cablaka juga perlu dilengkapi dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif. Rasionalitas, dengan memberi ruang pada aspek kebebasan, dan kepentingan publik (dalam hal ini semangat berkarya generasi muda) juga akan menghindarkan kemungkinan pesan tentang perlunya pertimbangan-pertimbangan rasional sebagai pejabat publik dalam mengambil keputusan bisa dipahami secara lebih utuh.
Dalam bukunya, Between Facts and Norms (1996), Habermas memperlihatkan bagaimana menyusun argumentasi untuk suatu ruang publik berhadapan dengan struktur politik dan hukum. Habermas memaknai ruang publik tersebut sebagai suatu jaringan untuk mengomunikasikan berbagai informasi dan berbagai cara pandang; arus-arus informasi dalam prosesnya disaring dan diperdebatkan sedemikian rupa, sehingga menggumpal menjadi simpul-simpul opini publik yang lebih spesifik menurut topiknya.
Dengan itu, barulah komunikator melakukan tindakan komunikatif yang memenuhi dua aspek, yakni aspek teleologis dan aspek komunikatif. Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Mengutip Reza AA Wattimena, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus dipertahankan.
Semua itu pada akhirnya bermuara pada tercapainya situasi masyarakat yang komunikatif, partisipatif, dan deliberatif. Itulah dasar untuk mencapai kemajuan demokrasi dan kreativitas kehidupan, yang mau tidak mau harus dimulai dari komunikator elite selaku pemegang kekuasaan. Persoalan mobil Esemka hanyalah contoh kecil karena Indonesia memang masih membutuhkan komunikasi politik yang rasional untuk terciptanya masyarakat demokratis-rasional yang terbebas dari ketertindasan terhadap kesadaran palsu.
“Bangga itu boleh. Bangga bahwa anak-anak kita bisa berkarya luar biasa. Tapi kebanggaan itu yang terukur dong. Lha ini belum apa-apa, teruji saja belum kok sudah ada yang berani pasang pelat nomor (untuk kendaraan dinas ). Sembrono itu namanya. Kalau nanti sampai nabrak kebo gimana. Tidak usah cari muka lah,” sergah Bibit saat ditanya wartawan menanggapi penggunaan mobil Esemka itu.
Mobil Esemka adalah hasil rakitan siswa-siswa SMKN 2 dan SMK Warga Surakarta, yang 80 persen komponennya dibuat di Batur, Klaten. Dua mobil bertipe Super Utility Vehicle (SUV) warna hitam metalik itu diciptakan para siswa dengan dukungan Kiat Motor dan Autocar Industri Komponen.
Setelah media massa memberitakan bahwa mobil rakitan siswa itu sebagai mobil dinas wali kota Solo, tiba-tiba saja Esemka bukan lagi sebagai mobil sebagai alat mobilitas. Ucapan Bibit Waluyo jelas menyiratkan bahwa oleh Jokowi, mobil itu telah dimanfaatkan sebagai bahan komunikasi politik dengan harapan muncul pencitraan tentang sosok Jokowi yang apresiatif dan mendukung karya anak bangsa.
Ada kerangka teori yang bisa menjelaskan hal itu, yakni teori komunikasi politik empati. Menurut teori ini, komunikasi politik diukur dari keberhasilan komunikator (subjek komunikasi) memproyeksikan diri dalam sudut pandang orang lain. Komunikasi politik berhasil apabila dapat menanamkan citra diri si komunikator dalam suasana alam pikiran masyarakat, atau secara ringkas, membangun empati masyarakat.
Jika Bibit seorang teoretikus, mungkin dia akan mengatakan kalau keputusan menggunakan Esemka sebagai mobil dinas lebih pas dipandang sebagai bagian dari komunikasi politik simbolik dan bukan sebagai keputusan kebijakan publik. Dalam komunikasi politik itu, elemen-elemen simbolik lebih kuat dibandingkan elemen-elemen rasional. Pertimbangan-pertimbangan rasional-teknis seperti misalnya aspek uji kelayakan, sertifikasi produk berada di belakang pertimbangan-pertimbangan pesan simbolik seperti apresiasi terhadap kreativitas, nasionalisme, kebanggaan pada karya anak bangsa, dan semacamnya.
Apakah Jokowi dan Hadi Rudyatmo keliru dalam keputusannya? Apakah Bibit Waluyo keliru dalam penilaiannya? Persoalan sebetulnya terletak pada komunikasi politik kedua belah pihak. Kasus “mobil Esemka” menjadi pelajaran yang menarik tentang betapa rumit dan kompleksnya praktik-praktik komunikasi, khususnya dalam hal ini adalah komunikasi politik antara pejabat publik dengan rakyat. Masyarakat tentu tidak dapat disalahkan ketika membingkai pernyataan Bibit dengan fakta “sejarah perseteruan” antara Jokowi dan Bibit beberapa bulan lalu. Karena itu, sekali lagi bingkai komunikasi politik sebetulnya bisa menjernihkan pandangan, melengkapi yang tidak utuh, dan mengoreksi cara komunikasi yang tidak tepat.
Komunikasi adalah berkah sekaligus kutukan. Seperti disimbolkan dalam kisah Menara Babel, umat manusia terpecah-belah ketika berkomunikasi tetapi tidak saling memahami karena masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda.
Kemampuan bahasa dan reproduksi saluran-saluran komunikasi adalah lompatan peradaban manusia, mendekatkan jarak sehingga muncul istilah global village tetapi juga memisahkan satu sama lain dalam jurang persepsi. Begitu banyak persoalan, mulai dari hubungan antara dua manusia, pada tingkat keluarga, kelompok kecil, masyarakat, hingga korporasi dan negara-bangsa, muncul akibat problem komunikasi.
Dalam kehidupan politik, hubungan antara elite dan publik, persoalan-persoalan komunikasi menjadi salah satu kajian yang tergolong esoteris dalam khazanah ilmu-ilmu sosial. Pada konteks Indonesia, kita mengalami bauran kompleksitas komunikasi politik akibat komunikasi gaya Amerika yang menekankan pada aspek pencitraan, sehingga sering pula disebut politik pencitraan. Penulis menyebutnya sebagai “gaya Amerika” karena modus komunikasi politik pencitraan secara sistematis melalui pemanfaatan media massa pertama kali dipraktikkan oleh Lyndon B Johnson saat bertarung dalam pemilu Amerika Serikat.
Pada 7 September 1964, tim kampanye Johnson menayangkan iklan politik yang terkenal dengan julukan “Daisy ad”. Iklan itu mengisahkan seorang gadis kecil memetik kuntum bunga daisy seraya menghitung sampai bilangan sepuluh. Kemudian, suara berat terdengar menghitung mundur dari sepuluh ke nol disusul dengan tayangan visual ledakan bom nuklir.
Pesan yang hendak disampaikan dalam iklan politik itu adalah bahwa calon incumbent Barry Goldwater bakal membawa AS dalam kancah perang nuklir apabila terpilih. Meski iklan tersebut hanya ditayangkan satu kali, persoalan bom nuklir menjadi isu sepanjang kampanye. Johnson memenangi pemilu dengan perolehan 61 persen suara, rekor dalam sejarah pemilu Amerika.
Sejak itulah, modus komunikasi politik Johnson ditiru, dikembangkan, dan diadopsi bukan saja oleh para politikus Amerika, tetapi juga di luar Amerika. Tony Blair adalah politikus yang menerapkan komunikasi politik gaya Amerika itu secara total dengan hasil kemenangan telak dan membawa kebangkitan kembali Partai Buruh atas Partai Konservatif di Inggris. Selanjutnya, komunikasi politik yang lebih populer diistilahkan political marketing itu menjadi modus utama komunikator politik di seantero dunia, termasuk Indonesia setelah Soeharto tumbang.
Dalam istilah Stendhal, modus komunikasi semacam itu seperti halnya menembakkan pistol ke udara di tengah keramaian. Letusan tersebut tentu membuat massa mengarahkan perhatian ke arah suara itu. Meraih perhatian publik adalah sasaran utama political marketing. Fokus inilah yang kemudian menggeser aspek esensi dalam komunikasi sehingga muncuk praktik “sensasi lebih penting daripada substansi”. Komunikasi politik lantas terjebak dalam sensasionalisme dengan berlomba-lomba mengejar perhatian publik, dengan semaksimal mungkin memanfaatkan media massa, meskipun harus mengabaikan substansi pesan.
Dampak berikutnya, media massa pun terjebak dalam sensionalisme karena unsur kemenarikan dalam political marketing adalah dahaga bagi media massa. Tabloidisasi media massa tidak terhindarkan, sehingga politik, media massa, dan publik terangkai dalam satu lingkaran yang saling memanfaatkan. Pakar linguistik Noam Chomsky menandaskan keprihatinan pada situasi ini dengan menyebut media massa melakukan praktik manufacturing consent, alias kesepahaman publik sebagai tindakan-tindakan manipulatif melalui mekanisme pembentukan opini publik.
Keprihatinan akan sensasionalisme dalam komunikasi politik itu lantas mendorong munculnya teori tentang komunikasi politik yang rasional. Masyarakat perlu dikembalikan pada area komunikasi politik yang rasional karena pada domain itulah demokrasi yang sejati bisa diharapkan. Salah satu pengusung rasionalitas komunikasi politik, Jurgen Habermas, mengembangkan Teori Kritis yang menitikberatkan pada aspek pengetahuan, kepentingan, rasionalitas, dan kebebasan sebagai elemen-elemen untuk membangun komunikasi yang rasional dan pada gilirannya juga partisipatif. Bagi Habermas tindakan komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi bersama.
Komunikasi politik yang rasional dan partisipatif akan menghindarkan kita dari keterjebakan pada komodifikasi politik, dan politisasi hal-hal yang sebetulnya tidak esensial dan tidak substansial bagi pematangan dan kebenaran politik.
Kembali pada kasus mobil Esemka, kita meyakini apabila pesan yang hendak disampaikan kepada anak-anak muda penerus bangsa adalah pesan semangat, apresiasi atas kerja keras dan kreativitas dengan tindakan nyata berupa mengakui dan menggunakan mobil itu sebagai mobil dinas. Ini tentu langkah yang bagus dari elite politik, sekali lagi dalam konteks apresiasi terhadap karya anak muda.
Komunikasi simbolik ala Jokowi terhadap semangat berkarya generasi muda akan lebih lengkap apabila dilandasi pula dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif. Dengan demikian, teladan yang hendak diberikan oleh Jokowi tidak ditafsirkan melulu sebagai komunikasi sensasionalisme atau berpaham popularitas belaka. Aspek-aspek pengetahuan, kepentingan, dan rasionalitas perlu dikomunikasikan kepada publik agar keputusan itu tidak berubah menjadi “politisasi mobil Esemka”.
Sebaliknya pula, komunikasi ala Bibit dengan gaya cablaka juga perlu dilengkapi dengan komunikasi politik yang rasional dan partisipatif. Rasionalitas, dengan memberi ruang pada aspek kebebasan, dan kepentingan publik (dalam hal ini semangat berkarya generasi muda) juga akan menghindarkan kemungkinan pesan tentang perlunya pertimbangan-pertimbangan rasional sebagai pejabat publik dalam mengambil keputusan bisa dipahami secara lebih utuh.
Dalam bukunya, Between Facts and Norms (1996), Habermas memperlihatkan bagaimana menyusun argumentasi untuk suatu ruang publik berhadapan dengan struktur politik dan hukum. Habermas memaknai ruang publik tersebut sebagai suatu jaringan untuk mengomunikasikan berbagai informasi dan berbagai cara pandang; arus-arus informasi dalam prosesnya disaring dan diperdebatkan sedemikian rupa, sehingga menggumpal menjadi simpul-simpul opini publik yang lebih spesifik menurut topiknya.
Dengan itu, barulah komunikator melakukan tindakan komunikatif yang memenuhi dua aspek, yakni aspek teleologis dan aspek komunikatif. Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Mengutip Reza AA Wattimena, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus dipertahankan.
Semua itu pada akhirnya bermuara pada tercapainya situasi masyarakat yang komunikatif, partisipatif, dan deliberatif. Itulah dasar untuk mencapai kemajuan demokrasi dan kreativitas kehidupan, yang mau tidak mau harus dimulai dari komunikator elite selaku pemegang kekuasaan. Persoalan mobil Esemka hanyalah contoh kecil karena Indonesia memang masih membutuhkan komunikasi politik yang rasional untuk terciptanya masyarakat demokratis-rasional yang terbebas dari ketertindasan terhadap kesadaran palsu.
Langganan:
Postingan (Atom)